BAB I
PENDAHULUAN
Agama Hindu masuk ke Bali tak
lepas dari pengaruh kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Gadjah Mada yang
dipukul mundur oleh Kerajaan Islam Demak dari pulau Jawa.[1] Walaupun sejarah masuknya Hindu di Bali masih
simpang siur, akan tetapi pengaruh Majapahit ini cukup mendominasi. Dalam masa
dewasa ini, Bali seakan menjadi pusat Hindu di Indonesia yang memiliki daya
tarik tersendiri. Setiap mendengar agama di Bali maka yang terpikirkan adalah
agama Hindu, dan mendengar agama di Jawa identik dengan Islam, walaupun sejarah
Hindu sebenarnya berasal dari pulau Jawa.
Sedangkan
agama Buddha bukan agama baru dalam sejarah bangsa Indonesia, tetapi adalah
agama yang sudah lama berkembang di bumi Nusantara ini. Agama Buddha telah
mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman keemasan yang jaya dalam zaman
kedatuan Sriwijaya dan dalam zaman keprabuan Majapahit.[2] Bahkan
agama Buddha telah berhasil mewujudkan hasil karya budaya bangsa Indonesia yang
agung, yaitu candi Borobudur, yang merupaka salah-satu keajaiban dunia.
Maka dari itu dalam makalah ini
akan dibahas beberapa sejarah tentang hari-hari suci agama Hindu dan Buddha,
serta peradaban-peradaban yang ditinggalkan oleh masa kejayaan Hindu-Buddha
seperti candi-candi yang dijadikan symbol kejayaan Hindu-Buddha di Nusantara
ketika itu.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Agama Buddha
A. Hari-Hari
Suci Agama Buddha
1. Hari
Waisak
Waisak atau Waisaka (Pali; Sanskrit: Vaiśākha वैशाख) merupakan
hari suci agama buddha. Hari
Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima
di India, Saga Dawa
di Tibet, Vesak di
Malaysia, dan Singapura, Visakha Bucha
di Thailand, dan Vesak
di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali "Wesakha",
yang pada gilirannya juga terkait dengan "Waishakha" dari bahasa Sansekerta. Di beberapa
tempat disebut juga sebagai "hari Buddha".[3]
Dirayakan dalam bulan Mei pada waktu
terang bulan (purnama sidhi) untuk memperingati 3 (tiga) peristiwa
penting, yaitu :
1. Lahirnya
pangeran Siddharta di Taman Lumbini pada tahun 623
S.M.,
2. Pangeran
Siddharta mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha di Buddha-Gaya (Bodhagaya) pada usia 35 tahun pada tahun 588
S.M.
3. Buddha
Gautama Parrinibana
(wafat) di Kusinara pada
usia 80 tahun pada tahun 543 S.M.
Tiga peristiwa ini dinamakan "Trisuci Waisak".
Keputusan merayakan Tri suci ini dinyatakan dalam Konferensi
Persaudaraan Buddhis Sedunia (World Fellowship of Buddhists - WFB) yang pertama
di Sri Lanka pada tahun 1950. Perayaan ini dilakukan
pada purnama pertama di
bulan mei. Waisak sendiri
adalah nama salah satu bulan dalam penanggalan India Kuno. Perayaan Hari Waisak
di Indonesia mengikuti
keputusan WFB. Secara tradisional dipusatkan secara nasional di komplek Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Rangkaian perayaan Waisak nasional secara pokok adalah
sebagai berikut:
1. Pengambilan
air berkat dari mata air
(umbul) Jumprit di Kabupaten
Temanggung dan penyalaan obor
menggunakan sumber api abadi
Mrapen Kabupaten Grobogan
2.
Ritual "Pindapatta", suatu
ritual pemberian dana makanan kepada para bhikkhu/bhiksu oleh masyarakat (umat) untuk memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan kebajikan.
3. Samadhi
pada detik-detik puncak bulan purnama. Penentuan bulan purnama ini adalah
berdasarkan perhitungan falak, sehingga puncak purnama dapat terjadi pada siang
hari.
Selain tiga upacara pokok tadi dilakukan pula pradaksina,
pawai, serta acara kesenian.
Hari Raya Waisak, bersamaan dengan Hari Raya Nyepi, ditetapkan sebagai hari
libur nasional berdasarkan Keppres Nomor 3 tahun 1983 tanggal 19 Januari 1983.
2.
Asadha
Peristiwa suci Asadha merupakan peristiwa yang
mempunyai arti yang amat penting, bahkan mempunyai nilai keramat bagi
kemanusiaan. Sebab, dengan terjadinya peristiwa Asadha itulah, maka
sampai saat ini umat Buddha masih dapat mengenal Buddha Dhamma yang merupakan rahasia
hidup dan kehidupan ini. Buddha Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada
pertengahannya, dan indah pada akhirnya.
Hari suci Asadha memperingati tiga peristiwa penting, yaitu
:
1) Khotbah
pertama Sang Buddha kepada lima orang pertapa di Taman Rusa Isipatana.
2) Terbentuknya
sangha Bhikkhu yang pertama.
3) Lengkapnya
Tiratana/Triratna ( Buddha, Dhamma, dan Sangha ).
Tepat
dua bulan setelah mencapai Penerangan Sempurna, Sang Buddha membabarkan Dhamma
untuk pertama kalinya kepada lima orang pertapa di Taman Rusa Isipatana, pada
tahun 588 Sebelum Masehi. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang dalam
bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling
berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk
pertama kalinya. Mereka yang kemudian disebut Panca Vaggiya Bhikkhu ini
adalah Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji.
Selanjutnya,
bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Sang Buddha membentuk
Sangha Bhikkhu yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya
Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada
Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Sang Buddha).
Tiratana atau Triratna berarti Tiga
Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan
pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana
dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha
berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Sang Buddha sebagai guru
dan teladannya.
3.
Kathina
Hari Suci Kathina atau Khathina
Puja merupakan hari bakti umat Buddha kepada Sangha. Sangha merupakan
persaudaraan para bhikkhu / bhikkhuni. Sangha merupakan lapangan untuk menanam
jasa yang tiada taranya di alam semesta ini. Sangha merupakan pewaris dan pengamal
Buddha Dhamma yang patut dihormati. Dengan adanya Sangha, yang anggotanya
menjalankan peraturan-peraturan kebhikkhuan (vinaya) dengan baik. Buddha Dhamma
akan berkembang terus di dunia ini. Sangha merupakan pemeliharaan kitab Suci
Tipitaka / Tripitaka.
Umat Buddha berterima kasih kepada Sangha
dengan menyelenggarakan perayaan Kathina Puja. Umat Buddha berterima kasih
kepada para bhikkhu / bhikkhuni yang telah menjalankan masa vassa di
daerah mereka, dengan mempersembahkan Kain Kathina (Kathinadussam)
yang berwana putih sebagai bahan pembuatan jubah Kathina.
Kathina Puja
diselenggarakan selama satu bulan, mulai dari sehari sesudah para bhikkhu /
bhikkhuni selesai menjalankan masa vassa. Masa vassa adalah
masa musim hujan di daerah kelahiran Sang Buddha. Lamanya masa vassa
adalah tiga bulan, yaitu sehari sesudah bulan purnama penuh dibulan Asadha
(Juli) sampai dengan sehari sebelum hari Kathina (Oktober). Selama masa vassa,
para bhikkhu / bhikkhuni harus berdiam di suatu tempat (vihara) yang telah
ditentukan.
B.
Pengertian dan Fungsi Vihara
Pada jaman Buddha masih hidup vihara digunakan sebagai
tempat tinggal para bhikkhu. Sekarang vihara beralih fungsi sebagai
tempat untuk melaksanakan puja bakti atau persembahan puja dari umat Buddha
kepada sang Buddha.
Vihara
yang lengkap terdiri dari:
1. Uposathagara, yaitu gedung uposatha (pesamuan
para bhikkhu), uposathagara merupakan suatu tempat di vihara yang
digunakan untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan penerangan
vinaya, penabisan bhikkhu, untuk upacara pembacaan patimokha yaitu 227
peraturan kebhikkhuan pada bulan gelap dan bulan terang, upacara untuk mengakui
kesalahan-kesalahan para bhikkhu pada saat melaksanakan vassa, tempat untuk
melakukan upacara persembahan jubah khatina.
2. Dhammasala
atau
dharmasala, yaitu tempat puja bakti dan pembabaran dhamma. Ditempat
inilah umat Buddha melakukan puja bakti dan mendengarkan uraian dhamma
dari para bhikkhu, pandita atau dharmaduta.
3. Kuti, yaitu tempat tinggal untuk para
bhikkhu, bhikkhuni, samanera dan samaneri. Didalam kuti para bhikkhu,
bhikkhuni, samanera dan samaneri tinggal, melatih diri, seperti bermeditasi.
4. Perpustakaan,
sama seperi fungsi perpustakaan lainya yaitu sebagai tempat untuk buku-buku
agama atau yang isinya berhubungan dengan keagamaan dan berbagai pengetahuan
lainya. Juga merupakan tempat menyimpan kitap suci. Perpustakaan bisa digunakan
untuk para bhikkhu maupun umat awam yang ingin belajar dhamma.
5. Pohon
Bodhi, pohon kebijaksanaan yang mengingatkan pada pencerahan dari pertapa
gotama.
Di vihara umat Buddha melakukan penghormatan kepada
buddharupang (patung Buddha) sebagai simbolis dari perwujudan tubuh Buddha.
Umat bisa melakukan bakti sosial, sharing dhamma, dan berbagai kegiatan lainya
yang berhubungan dengan keagamaan di vihara.
C.
Candi-Candi
Buddha di Indonesia
1.
Candi Borobudur
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat
berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah
stupa utama sebagaipuncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya
beberapa stupa.
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang
terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih
100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut
Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana
sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra
2.
Candi Mendut
Ciri-Cirinya:
Hiasan yang terdapat pada Candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling.
Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari,
dua ekor kera dan seekor garuda.
Candi Mendut
adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa
Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer
dari candi Borobudur. Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra
dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824
Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama
veluvana yang artinya adalah hutan bambu. oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de
Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
3.
Candi Ngawen
Ciri-Ciri
nya :
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil,
dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa
pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa
yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya.
Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah
ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada
kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen,
kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut perkiraan, candi
ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram
Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam
prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M.
4. Candi
Lumbung
Ciri-cirinya :
Dikelilingi
oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relative cukup
bagus
Candi
Lumbung adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi
Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun
pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan
dari satu candi utama (bertema bangunan candi Buddha).
5. Candi
Banyunio
Candi Banyunibo yang
berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) adalah candi Buddha yang berada
tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur dari kota
Yogyakarta ke arah kota Wonosari. Candi ini dibangun
pada sekitar abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas
candi ini terdapat sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha.
Ciri-cirinya:
Keadaan dari candi ini terlihat masih cukup kokoh dan utuh dengan ukiran relief kala-makara dan bentuk relief lainnya yang masih nampak sangat jelas. Candi yang mempunyai bagian ruangan tengah ini pertama kali ditemukan dan diperbaiki kembali pada tahun 1940-an, dan sekarang berada di tengah wilayah persawahan.
D. Aneka
Candi di Indonesia
Drs. R. Soetarno dalam buku Aneka Candi Kuno di Indonesia membagi
candi-candi berdasarkan tempat candi berada dan dikelompokkan menjadi (1) Jawa
Tengah Selatan, (2) Jawa Tengah Utara, (3) Jawa Timur dan (4) Luar Jawa.
Mengenai candi-candi di Luar Jawa itu dibagi lagi menjadi (a) Kelompok Candi
Muara Takus, (b) Kelompok Candi Gunung Tua dan (c) Kelompok Candi di Gunung
Kawi, Tampak Siring.[4]
Candi-candi di Jawa Utara besifat Hindu,
sedang di Jawa Tengah bagian Selatan (kecuali Candi Prambanan dan Candi-Candi
kecil) bersifat Buddha. Kenyataan ini nantinya mendukung bahwa Raja Sanjaya
sebagai Raja pertama yang beragama Syiwa memiliki kekuasaan dibagian utara
wilayah Jawa Tengah. Sedangkan wilayah kekuasaan dinasti Syailendra yang
beragama Buddha Mahayana berada dibagian selatang Jawa Tengah.
II.
Agama Hindu
A. Hari-Hari
Suci
1. Nyepi
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi,
senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu
berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi.
Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai
dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan,
termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun
tidak untuk rumah sakit.
Ada yang berpendapat bahwa pada saat ini
bumi menderita sakit dan panas. Batara
Yama, dewa maut, menyebarkan roh-roh jahat, sehingga seluruh bali harus di
sucikan. Penyucian ini di ikuti oleh satu hari yang sunyi sekali.[5]
periode waktu satu tahun sekali tepatnya
pada tahun baru saka. Pada saat ini matahari menuju garis lintang utara, saat
Uttarayana yang disebut juga Devayana yakni waktu yang baik untuk mendekatkan
diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Sehari sebelum perayaan hari raya Nyepi
dilengkapi dengan upacara Tawur (Bhuta Yajna) yaitu hari Tilem Chaitra dengan
ketentuannya dari lontar Sang Hyang Aji Swamandala yang menyatakan apabila
melaksanakan tawur hendaknya jangan mencari hari lain selain Tilem bulan
Chaitra.
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu
melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis.
Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat
suci) diarak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air
suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam
diri manusia dan alam.
Sehari sebelum Nyepi,
yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu
melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai
dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan
mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut
kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak
(sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan
penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan
sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri
dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta
lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan
arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala
dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Keesokan harinya, yaitu pada pinanggal
pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya
Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan
aktivitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur
Brata" Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada
berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya
(tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati
lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga
melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.
2. Ciwaratri
Perayaan Siwa Ratri adalah salah satu
bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu memelihara kesadaran
diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui atau tidak, manusia
sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu,
maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan Bali),
dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan.
Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek.
Orang
yang selalu jagralah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa. Siwa Ratri pada
hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu
mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri
adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala
kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka
lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini.
Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap
tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang
tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling
gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.
Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau
malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum
karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap
akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari
itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri
diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.
Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku
brata : Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering
diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti
ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang
bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut,
menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru
malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan
sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke
hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian.
Jagra yaitu pengendalian
tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai
melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi
dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya
melaksanakan Darma Santhi, pergi saling mengunjungi kerumah sahabat, handai
taulan sambil bermaaf-maafan.
3. Galungan
Hari Raya Galungan adalah Hari Raya Umat
Hindu yang dirayakan setiap 6 bulan sekali, sesuai dengan kalender penanggalan
Bali yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan. Kata Galungan dalam bahasa jawa
Kuno berarti menang, dan makna dari perayaan Hari Raya Galungan ini adalah
untuk merayakan kemenangan dharma atau kebajikan melawan adharma atau kebhatilan
dan menghaturkan rasa terima kasih dan angayubagia ke hadapan Ida Sang
Hyang Widhi /Tuhan yang maha Esa atas terciptanya dunia serta segala isinya dan
atas karunia yang telah dilimpahkan-Nya. Hari raya Galungan selama ini sering
dimaknai sebagai Hari raya untuk merayakan kemenangan Dharma (Kebaikan )
melawan Adharma (Kejahatan) yang mana hal ini dikaitkan dengan cerita
kemenangan Dewa Indra melawan Raksasa Maya Denava.Maka dari itu selain
mengetahui tentang pengertian hari raya galungan yang upacaranya kita harus
mengetahui makna yang terkandung dalam hari raya galungan.
Parisadha
Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan
Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada
hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar
umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida
Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah
umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang
telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.
4.
Kuningan
Hari
Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender
Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan, (1 bulan dalam kalender Bali
= 35 hari) yang jatuh pada hari ini Sabtu, 7 April 2013.
Kuningan
adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Pada hari ini
dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai
tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima
anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya
itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog
atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah
wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita
semua, khususnya umat Hindu di Bali maupun umat Hindu di luar Bali.
Dalam Kuningan menggunakan upakara sesajen yang
berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna tamiang
memiliki lambang perlindungan dan juga melambangkan perputaran roda alam yang
mengingatkan manusia pada hukum alam. Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan
diri dengan alam, atau tidak taat dengan hukum alam, risikonya akan tergilas
oleh roda alam. Oleh karena itu melalui perayaan ini umat diharapkan mampu
menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan agama Hindu.
Sedangkan endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama
dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana).
Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran.
Perayaan ini juga dimaksudkan agar umat selalu
ingat kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan mensyukuri
karunia-Nya. Melalui perayaan ini umat juga dituntut selalu ingat menyamabraya,
meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial. Selain itu, melalui rerahinan
kuningan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta
harmonisasi alam semesta beserta isinya.
5. Purnama
dan Tilem
Purnama dan Tilem adalah hari suci bagi umat
Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi. Hari
Purnama, sesuai dengan namanya, jatuh setiap malam bulan penuh (Sukla Paksa).
Sedangkan hari Tilem dirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna Paksa).
Kedua hari suci ini dirayakan setiap 30 atau 29 hari sekali.
Pada hari Purnama dilakukan pemujaan
terhadap Sang Hyang Chandra, sedangkan pada hari Tilem dilakukan pemujaan
terhadap Sang Hyang Surya. Keduanya merupakan manifestasi dari Hyang Widhi yang
berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (mala). Pada kedua hari ini
hendaknya diadakan upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara
yadnya.
Ada hari-hari utama penyelenggaraan upacara
persembahyangan sejak dulu sama nilai keutamaanya yaitu hari Purnama dan Tilem.
Pada hari Purnama, bertepatan dengan Sanghyang Candra beryoga dan pada hari
Tilem, bertepatan dengan Sanghyang Surya beyoga memohonkan keselamatan kepada
Hyang Widhi. Pada hari suci demikian itu, sudah seyogyanya kita para rohaniawan
dan semua umat manusia menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan upacara
persembahyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Hyang Widhi.
Pada hari Purnama dan Tilem ini sebaiknya
umat melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, disamping bersembahyang
mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, umat
juga hendaknya melakukan pembersihan badan dengan air. Kondisi bersih secara
lahir dan batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul
pikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih pula. Kebersihan juga sangat
penting dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungan dengan pemujaan
kepada Hyang Widhi.
B. Pengertian
dan Fungsi Tempat Suci
Tempat Suci Hindu adalah suatu tempat maupun
bangunan yang dikeramatkan oleh umat Hindu atau tepat persembahyangan bagi umat
Hindu untuk memuja Brahman beserta aspek-aspeknya. Di Tanah Hindu, banyak kuil
yang didedikasikan untuk Dewa-Dewi Hindu, beserta inkarnasinya ke dunia
(awatara), seperti misalnya Rama dan Kresna. Di India setiap kuil
menitikberatkan pemujaannya terhadap Dewa-Dewi tertentu, termasuk memuja
Bhatara Rama dan Bhatara Kresna sebagai utusan Tuhan untuk melindungi umat
manusia.
Kesucian identik dengan kehormatan, jadi
tempat suci adalah tempat yang di sucikan dan di hormati yang digunakan untuk
sesembahan suatu agama kepada Tuhan, baik itu agama Hindu maupun Budha.
Didalamnya tidak boleh melakukan hal-hal yang tercela . Maupun sesuatu obrolan
yang bersifat keduniawian. Maka dari itu tempat suci ini selain sebagai simbol
identitas suatu agama, tapi juga menjadi kebanggan tersendiri dengan sifat
kesakralannya.
C. Jenis-Jenis
Tempat Suci
1. Pura
Istilah
pura berasal dari kata Pur yang artinya Kola, bening. Pura berarti
suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian. Sebelum Pura
diperkenalkan sebagai tempat suci atau tempat pemujaan, dipergunakan Hyang atau
Kahyangan untuk tempat pemujaan umat Hindu.
Mengenai
pura sendiri yang terpenting bukan puranya sebagai bangunan, melainkan tanah,
tempat pura itu didirikan. Tanah itu adalah tanah suci. Di sebidang tanah suci
yang dipilih oleh salah seorang tokoh dewa, orang Bali mendirikan bangunan bagi
dewa itu. Pura-pura ini bukanlah tempat tinggal dewa yang sebenarnya, melainkan
hanya tempat tinggal sementara, semacam tempat penginapan.[6]
2. Candi
Candi berasal
dari kata Candika Grha artinya Rumah Durga. Dan pengertian ini akhirnya candi
dijadikan tempat pemujaan untuk Dewi Durga. Di India candi merupakan sarana pemujaan,
dan merupakan simbol gunung Mahameru sebagai tempat para Dewa. Maka itu, candi
merupakan tempat pemujaan kepada dewa. Nama lain candi adalah Prasada, Sudarma,
Mandira.
Menurut Dr.
Sukmono mengatakan bahwa fungsi candi seperti:
a) Candi berfungsi
sebagai tempat pemujaan, seperti Candi Dieng, Candi Prambanan, Candi Penataran.
b) Candi berfungsi
sebagai pemujaan roh suci, seperti Candi Kidak, Candi Jago, Candi Singosari,
Candi Simpino, Candi Jaui.
c) Candi berfungsi sebagai tempat semedi, seperti
Candi Borobudur, Candi Pauon, Candi Mendut, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi
Sari.
3.
Kuil atau
Mandir
Kuil (Mandir) adalah tempat suci umat Hindu dari
keturunan India Tamil. Fungsi Kuil adalah tempat suci untuk memuja manifestasi
Tuhan (Dewa) yang dikagumi.
4.
Balai Antang
Balai Antang adalah tempat suci umat
Hindu dari Kaharingan. Balai Antang ini dibuat dari kayu yang dirangkai
sehingga bentuknya mirip dengan pelangkiran di Bali. Fungsi Balai Antang adalah
sebagai tempat menstanakan roh leluhur yang sudah di sucikan yang bersifat
sementara.
5.
Balai
Kaharingan
Balai Kaharingan adalah tempat suci
umat Hindu dari Kaharingan. Bentuk hampir mirip bangunan rumah, dan di ruangan
diletakkan sebuah tiang yang besar sebagai penyangga. Atapnya bersusun tiga,
semakin keatas semakin kecil. Fungsi Balai Kaharingan adalah untuk menstanakan
Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya. Balai Kaharingan dibangun
ditengah-tengah wilayah masyarakat atau pada tempat yang mudah dijangkau oleh
umat Hindu Kaharingan untuk melaksanakan persembahyangan.
6.
Sandung
Sandung adalah tempat suci umat Hindu
Kaharingan. Sandung terbuat dari kayu dirangkai berbentuk pelinggih rong satu,
bentuk atapnya segi tiga sama kaki dan memakai satu tiang sebagai penyangga.
Sandung diletakkan diluar rumah atau dipekarangan. Fungsi Sandung adalah
sebagai Stana roh leluhur yang telah disucikan.
7.
Inan
Kapemalaran Pak Buaran
Adalah tempat suci umat Hindu Tanah Toraja, dengan
ciri-cirinya terdapat Lingga/batu besar, Pohon Cendana dan Pohon Andong. Pak
Buaran merupakan tempat sembahyang yang digunakan dalam lingkungan satu Desa
(di Bali sama dengan Pura Desa).
8.
Inan Kapemalaran Pedatuan
Adalah tempat suci umat Hindu Tanah Toraja. dengan ciri-cirinya, terdapat
lingga / batu besar. pohon cendana dan pohon andong. Pedatun ini merupakan
tempat sembahyangyang digunakan dalam beberapa lingkungan keluarga (di Bali =
Banjar). Pedatuan ini biasanya terleiak dilereng Gunung.
9.
Inan Kapemalaran Pak Pesungan
Adalah tempat sembahyang bagi umat Hindu di Tanah Toraja, yang digunakan
dalam lingkungan rumah tangga (di Bali = merajan).
10.
Sanggar
Adalah salah satu bentuk tempat
persembahyangan umat Hindu di Jawa. Sanggar ini merupakan tempat suci yang
ukuran ruangnya kecil yang berisikan satu buah Padmasana untuk tempat
persembahyangan yang bersifat umum.
D. Candi-Candi Hindu di Indonesia
1.
Candi Cetho
Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak
agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan
ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet
Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk
kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas
Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai
diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi
candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.
Ciri-cirinya:
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.
2.
Candi Asu
Candi Asu adalah nama sebuah candi
peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi,
kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, provinsi Jawa Tengah (kira-kira 10 km di
sebelah timur laut dari candi Ngawen). Di dekatnya juga
terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung
(Magelang). Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh
masyarakat sekitarnya.
Ciri-cirinya:
Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).
Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).
3.
Candi Gunung Wukir
Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal adalah
candi Hindu yang berada di dusun Canggal, kalurahan Kadiluwih, kecamatan Salam,
Magelang, Jawa Tengah. Candi ini tepatnya berada di atas bukit Gunung Wukir
dari lereng gunung Merapi pada perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Menurut perkiraan, candi ini merupakan candi tertua yang dibangun pada saat
pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada tahun
732 M (654 tahun Saka).
Ciri-cirinya:
Kompleks dari reruntuhan candi ini mempunyai
ukuran 50 m x 50 m terbuat dari jenis batu andesit, dan di sini pada tahun 1879
ditemukan prasasti Canggal yang banyak kita kenal sekarang ini. Selain prasasti
Canggal, dalam candi ini dulu juga ditemukan altar yoni, patung lingga (lambang
dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Andini.
4. Candi Prambanan
Berdiri di bawah Candi Hindu terbesar
di Asia Tenggara ini selarik puisi tiba-tiba terlintas di benak Candi Prambanan
yang dikenal juga sebagai Candi Roro Jonggrang ini menyimpan suatu legenda yang
menjadi bacaan pokok di buku-buku ajaran bagi anak-anak sekolah dasar. Kisah Bandung Bondowoso dari Kerajaan Pengging yang ingin
memperistri dara cantik bernama Roro Jonggrang. Si putri menolak dengan halus.
Ia mempersyaratkan 1000 candi yang dibuat hanya dalam waktu semalam. Bandung
yang memiliki kesaktian serta merta menyetujuinya. Seribu candi itu hampir
berhasil dibangun bila akal licik sang putri tidak ikut campur. Bandung yang
kecewa lalu mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca, yang diduga menjadi arca
Batari Durga di salah satu candi.
5. Candi Gunung Sari
Candi Gunung Sari adalah salah satu candi Hindu Siwa
yang ada di Jawa. Lokasi candi ini berdekatan dengan Candi Gunung Wukir tempat
ditemukannya Prasasti Canggal..
Ciri-cirinya:
Candi Gunung Sari dilihat dari ornamen,
bentuk, dan arsitekturnya kemungkinan lebih tua dari pada Candi Gunung Wukir.
Di Puncak Gunung Sari kita bisa melihat pemandangan yang sangat mempesona dan
menakjubkan. Candi Gunung Sari terletak di Desa Gulon, Kecamatan Salam,
Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Semoga di masa depan Candi Gunung
Sari semakin dikenal oleh banyak orang untuk dapat menemukan inspirasi dan
keindahannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam agama
Hindu-Buddha upacara bukanlah sekedar upacara biasa yang bertujuan untuk
menghibur. Melainkan, banyak makna yang terkandung dari setiap upacara
tersebut. Seperti hari Nyepi yang bermakna sebagai penyucian diri dari roh-roh
jahat, melalui tidak bekerja dan tidak berbuat apa-apa dan hanya menetap di
dalam rumah saja. Begitu juga upacara Asadha dalam Buddha. Sebab, dengan
terjadinya peristiwa Asadha itulah, maka sampai saat ini umat Buddha masih
dapat mengenal Buddha Dhamma yang merupakan rahasia hidup dan kehidupan ini.
Selain upacara-upacaranya yang begitu
sakral, ada juga monument-monumennya yang sangat bersejarah, yang sedikit
banyak menyisakan perjalanan kejayaan Hindu-Buddha ketika itu, seperti Candi
Borobudur di Magelang Jawa Tengah yang sempat dinobatkan sebagai salah-satu dai
Tujuh Keajaiban Dunia. Begitu juga agama Hindu, mereka memiliki Candi Prambanan
yang terkenal sebagai candi terbesar se-Asia Tenggara serta memiliki sarat
sejarah yang cukup terkenal.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di
Indonesia, membuat agama Hindu-Buddha menjadi terkikis sedikit demi sedikit.
Hal ini sedikit banyak meruntuhkan kesakralan candi-candi agama Hindu-Buddha di
Indonesia. Meski begitu, candi-candi ini tetaplah menjadi suatu yang penting
bagi Indonesia karena ini menandakan bahwa Indonesia adalah menjadi saksi
sejarah perjalanan agama Hindu-Buddha.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu
dan Budha. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009.
Muljana,
Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara- Negara
Islam di Indonesia. Yogyakarta:
LKiS Printing Cemerlang, 2005.
Taher, Tarmizi. Bingkai Teologi
Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1997.
Tim Penyusun. Kapita Selekta
Agama Buddha. Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi Jakarta, 2003.
[1]Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Indonesia. (Yogyakarta:
LKiS Printing Cemerlang, 2005), h. 10.
[2]Tarmizi
Taher, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia.
(Jakarta: Rajawali,1997), h. 21.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Waisak
diakses pada tanggal 14-042015 diakses: 28-4-2015, pukul. 11:15.
[4] Tim
Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha, (Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi Jakarta, 2003), h. 13.
[6]
Ibid, Harun Adiwijoyo, hal. 154
Tidak ada komentar:
Posting Komentar