A.
Pendahuluan
Agama Hindu masuk ke Bali tak
lepas dari pengaruh kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Gadjah Mada yang
dipukul mundur oleh Kerajaan Islam Demak dari pulau Jawa.[1]
Walaupun sejarah masuknya Hindu di Bali masih simpang siur, akan tetapi
pengaruh Majapahit ini cukup mendominasi. Dalam masa dewasa ini, Bali seakan
menjadi pusat Hindu di Indonesia yang memiliki daya tarik tersendiri. Setiap
mendengar agama di Bali maka yang terpikirkan adalah agama Hindu, dan mendengar
agama di Jawa identik dengan Islam, walaupun sejarah Hindu sebenarnya berasal
dari pulau Jawa.
Sedangkan agama Buddha bukan agama
baru dalam sejarah bangsa Indonesia, tetapi adalah agama yang sudah lama berkembang
di bumi Nusantara ini. Agama Buddha telah mengantarkan bangsa Indonesia
memasuki zaman keemasan yang jaya dalam zaman kedatuan Sriwijaya dan dalam
zaman keprabuan Majapahit.[2] Bahkan
agama Buddha telah berhasil mewujudkan hasil karya budaya bangsa Indonesia yang
agung, yaitu candi Borobudur, yang merupaka salah-satu keajaiban dunia.
Maka dari itu dalam makalah ini
akan dibahas beberapa sejarah tentang hari-hari suci agama Hindu dan Buddha,
serta peradaban-peradaban yang ditinggalkan oleh masa kejayaan Hindu-Buddha
seperti candi-candi yang dijadikan symbol kejayaan Hindu-Buddha di Nusantara
ketika itu.
I.
Agama Buddha
A. Hari-Hari
Suci Agama Buddha
1.
Hari Waisak
Waisak atau Waisaka (Pali;
Sanskrit: Vaiśākha वैशाख)
merupakan hari suci agama buddha.
Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Saga Dawa di Tibet, Vesak di Malaysia, dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil
dari bahasa Pali
"Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan
"Waishakha" dari bahasa
Sansekerta. Di beberapa tempat disebut juga sebagai "hari
Buddha".[3]
Dirayakan
dalam bulan Mei pada waktu terang bulan (purnama sidhi) untuk memperingati 3
(tiga) peristiwa penting, yaitu :
- Lahirnya pangeran Siddharta di Taman Lumbini pada tahun 623 S.M.,
- Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha di Buddha-Gaya (Bodhagaya) pada usia 35 tahun pada tahun 588 S.M.
- Buddha Gautama Parrinibana (wafat) di Kusinara pada usia 80 tahun pada tahun 543 S.M.
Tiga peristiwa ini dinamakan "Trisuci Waisak".
Keputusan merayakan Trisuci ini dinyatakan dalam Konferensi Persaudaraan
Buddhis Sedunia (World Fellowship of Buddhists - WFB) yang pertama di Sri Lanka pada tahun 1950. Perayaan ini dilakukan
pada purnama pertama di
bulan mei. Waisak sendiri
adalah nama salah satu bulan dalam penanggalan India Kuno. Perayaan Hari Waisak
di Indonesia mengikuti
keputusan WFB. Secara tradisional dipusatkan secara nasional di komplek Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Rangkaian
perayaan Waisak nasional secara pokok adalah sebagai berikut]
- Pengambilan air berkat dari mata air (umbul) Jumprit di Kabupaten Temanggung dan penyalaan obor menggunakan sumber api abadi Mrapen Kabupaten Grobogan
- Ritual "Pindapatta", suatu ritual pemberian dana makanan kepada para bhikkhu/bhiksu oleh masyarakat (umat) untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan kebajikan.
- Samadhi pada detik-detik puncak bulan purnama. Penentuan bulan purnama ini adalah berdasarkan perhitungan falak, sehingga puncak purnama dapat terjadi pada siang hari.
Selain
tiga upacara pokok tadi dilakukan pula pradaksina, pawai, serta acara kesenian.
Hari
Raya Waisak, bersamaan dengan Hari Raya Nyepi, ditetapkan sebagai hari libur nasional berdasarkan Keppres
Nomor 3 tahun 1983 tanggal 19 Januari 1983.
2.
Asadha
Peristiwa suci Asadha merupakan peristiwa yang mempunyai
arti yang amat penting, bahkan mempunyai nilai keramat bagi kemanusiaan. Sebab,
dengan terjadinya peristiwa Asadha itulah, maka sampai saat ini umat Buddha
masih dapat mengenal Buddha Dhamma yang merupakan rahasia hidup dan kehidupan
ini. Buddha Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan
indah pada akhirnya.
Hari
suci Asadha memperingati tiga peristiwa penting, yaitu :
- Khotbah pertama Sang Buddha kepada lima orang pertapa di Taman Rusa Isipatana.
- Terbentuknya sangha Bhikkhu yang pertama.
- Lengkapnya Tiratana/Triratna ( Buddha, Dhamma, dan Sangha ).
Tepat
dua bulan setelah mencapai Penerangan Sempurna, Sang Buddha membabarkan Dhamma
untuk pertama kalinya kepada lima orang pertapa di Taman Rusa Isipatana, pada
tahun 588 Sebelum Masehi. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang dalam
bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling
berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk
pertama kalinya. Mereka yang kemudian disebut Panca Vaggiya Bhikkhu ini
adalah Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji.
Selanjutnya,
bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Sang Buddha membentuk
Sangha Bhikkhu yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya
Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha
dan Dhamma (yang ditemukan oleh Sang Buddha ).
Tiratana
atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha.
Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada
Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha
berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Sang Buddha sebagai guru
dan teladannya.
3.
Kathina
Hari Suci
Kathina atau Khathina Puja merupakan hari bakti umat Buddha kepada Sangha.
Sangha merupakan persaudaraan para bhikkhu / bhikkhuni. Sangha merupakan
lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta ini. Sangha
merupakan pewaris dan pengamal Buddha Dhamma yang patut dihormati. Dengan
adanya Sangha, yang anggotanya menjalankan peraturan-peraturan kebhikkhuan
(vinaya) dengan baik. Buddha Dhamma akan berkembang terus di dunia ini. Sangha
merupakan pemeliharaan kitab Suci Tipitaka / Tripitaka.
Umat Buddha berterima kasih
kepada Sangha dengan menyelenggarakan perayaan Kathina Puja. Umat Buddha
berterima kasih kepada para bhikkhu / bhikkhuni yang telah menjalankan masa vassa
di daerah mereka, dengan mempersembahkan Kain Kathina (Kathinadussam)
yang berwana putih sebagai bahan pembuatan jubah Kathina.
Kathina Puja diselenggarakan
selama satu bulan, mulai dari sehari sesudah para bhikkhu / bhikkhuni selesai
menjalankan masa vassa. Masa vassa adalah masa musim hujan di
daerah kelahiran Sang Buddha. Lamanya masa vassa adalah tiga bulan,
yaitu sehari sesudah bulan purnama penuh dibulan Asadha (Juli) sampai dengan
sehari sebelum hari Kathina (Oktober). Selama masa vassa, para bhikkhu
/ bhikkhuni harus berdiam di suatu tempat (vihara) yang telah ditentukan.
B.
Pengertian
dan Fungsi Vihara
Pada jaman Buddha masih hidup vihara digunakan sebagai
tempat tinggal para bhikkhu. Sekarang vihara beralih fungsi sebagai
tempat untuk melaksanakan puja bakti atau persembahan puja dari umat Buddha
kepada sang Buddha.
Vihara
yang lengkap terdiri dari:
- Uposathagara, yaitu gedung uposatha (pesamuan para bhikkhu), uposathagara merupakan suatu tempat di vihara yang digunakan untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan penerangan vinaya, penabisan bhikkhu, untuk upacara pembacaan patimokha yaitu 227 peraturan kebhikkhuan pada bulan gelap dan bulan terang, upacara untuk mengakui kesalahan-kesalahan para bhikkhu pada saat melaksanakan vassa, tempat untuk melakukan upacara persembahan jubah khatina.
- Dhammasala atau dharmasala, yaitu tempat puja bakti dan pembabaran dhamma. Ditempat inilah umat Buddha melakukan puja bakti dan mendengarkan uraian dhamma dari para bhikkhu, pandita atau dharmaduta.
- Kuti, yaitu tempat tinggal untuk para bhikkhu, bhikkhuni, samanera dan samaneri. Didalam kuti para bhikkhu, bhikkhuni, samanera dan samaneri tinggal, melatih diri, seperti bermeditasi.
- Perpustakaan, sama seperi fungsi perpustakaan lainya yaitu sebagai tempat untuk buku-buku agama atau yang isinya berhubungan dengan keagamaan dan berbagai pengetahuan lainya. Juga merupakan tempat menyimpan kitap suci. Perpustakaan bisa digunakan untuk para bhikkhu maupun umat awam yang ingin belajar dhamma.
- Pohon Bodhi, pohon kebijaksanaan yang mengingatkan pada pencerahan dari pertapa gotama.
Di
vihara umat Buddha melakukan penghormatan kepada buddharupang (patung Buddha)
sebagai simbolis dari perwujudan tubuh Buddha. Umat bisa melakukan bakti
sosial, sharing dhamma, dan berbagai kegiatan lainya yang berhubungan dengan
keagamaan di vihara.
.
.
C. Candi-Candi Buddha di Indonesia
1. Candi Borobudur
berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur
sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama
sebagaipuncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa
stupa.
Borobudur
adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang
dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para
penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa
pemerintahan wangsa Syailendra

2.
Candi Mendut
Ciri-Cirinya:
Hiasan yang
terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan
ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera
dan seekor garuda.
Candi Mendut adalah
sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut,
kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari
candi Borobudur. Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari
dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi,
disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang
artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de
Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.

3.
Candi Ngawen
Ciri-Ciri nya :
Candi ini
terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda
dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha
dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada
pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak
cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi Ngawen adalah candi Buddha
yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di
desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut perkiraan, candi ini
dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram
Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam
prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M.

4. Candi Lumbung
Ciri-cirinya
:
Dikelilingi
oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relative cukup bagus
Candi Lumbung
adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan,
yaitu di sebelah candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad
ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan dari satu
candi utama (bertema bangunan candi Buddha).

5.
Candi
Banyunio
Candi
Banyunibo yang berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) adalah candi
Buddha yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur
dari kota Yogyakarta ke arah kota Wonosari. Candi ini dibangun pada sekitar
abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini
terdapat sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha.
Ciri-cirinya:
Keadaan dari
candi ini terlihat masih cukup kokoh dan utuh dengan ukiran relief kala-makara
dan bentuk relief lainnya yang masih nampak sangat jelas. Candi yang mempunyai
bagian ruangan tengah ini pertama kali ditemukan dan diperbaiki kembali pada
tahun 1940-an, dan sekarang berada di tengah wilayah persawahan.

II.
Aneka Candi di Indonesia
Drs. R.
Soetarno dalam buku Aneka Candi Kuno di
Indonesia membagi candi-candi berdasarkan tempat candi berada dan
dikelompokkan menjadi (1) Jawa Tengah Selatan, (2) Jawa Tengah Utara, (3) Jawa
Timur dan (4) Luar Jawa. Mengenai candi-candi di Luar Jawa itu dibagi lagi
menjadi (a) Kelompok Candi Muara Takus, (b) Kelompok Candi Gunung Tua dan (c)
Kelompok Candi di Gunung Kawi, Tampak Siring.[4]
Candi-candi
di Jawa Utara besifat Hindu, sedang di Jawa Tengah bagian Selatan (kecuali
Candi Prambanan dan Candi-Candi kecil) bersifat Buddha. Kenyataan ini nantinya
mendukung bahwa Raja Sanjaya sebagai Raja pertama yang beragama Syiwa memiliki
kekuasaan dibagian utara wilayah Jawa Tengah. Sedangkan wilayah kekuasaan
dinasti Syailendra yang beragama Buddha Mahayana berada dibagian selatang Jawa
Tengah.
[1]
Muljana Slamet, Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Indonesia. (Yogyakarta:
LKiS Printing Cemerlang). 2005
[2]
Taher Tarmizi, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia.
(Jakarta: 1997)
[4]
Tim Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha. (Jakarta: CV. Dewi
Kayana Abadi Jakarta). 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar