Agama Hindu
A.
Hari-Hari Suci
1.
Nyepi
Nyepi berasal
dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun
Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun
78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali
dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan
ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun
tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Ada yang
berpendapat bahwa pada saat ini bumi menderita sakit dan panas. Batara Yama, dewa maut, menyebarkan
roh-roh jahat, sehingga seluruh bali harus di sucikan. Penyucian ini di ikuti
oleh satu hari yang sunyi sekali.[1]
periode waktu
satu tahun sekali tepatnya pada tahun baru saka. Pada saat ini matahari menuju
garis lintang utara, saat Uttarayana yang disebut juga Devayana yakni waktu
yang baik untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Sehari sebelum
perayaan hari raya Nyepi dilengkapi dengan upacara Tawur (Bhuta Yajna) yaitu
hari Tilem Chaitra dengan ketentuannya dari lontar Sang Hyang Aji Swamandala
yang menyatakan apabila melaksanakan tawur hendaknya jangan mencari hari lain
selain Tilem bulan Chaitra.
Tiga atau dua hari sebelum
Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau
disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan
yang ada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau, karena laut atau
danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh
(kotor) di dalam diri manusia dan alam.
Sehari
sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang
ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan
masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan
seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam
sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca
Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).
Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan
segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang
dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna
berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun
(berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan
kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka
tidak mengganggu umat.
Keesokan harinya, yaitu pada pinanggal
pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya
Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan
aktivitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur
Brata" Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada
berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya
(tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati
lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga
melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.
2.
Ciwaratri
Perayaan Siwa
Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu
memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui
atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering
mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut
penanggalan Bali), dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam
pejagraan. Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau
melek.
Orang yang selalu jagralah yang dapat
menghindar dari perbuatan dosa. Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan
Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama
Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa
memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu
mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat
dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara Siwa Ratri
sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan
setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan
menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang
disebut Maha Siwa Ratri.
Banyak
kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan
dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun
orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari
perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang
menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam
peleburan dosa.
Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku
brata : Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering
diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal
seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang
bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut,
menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru
malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan
sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke
hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian.
Jagra yaitu
pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi
disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada
malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan
begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma
Santhi, pergi saling mengunjungi kerumah sahabat, handai taulan sambil
bermaaf-maafan.
3.
Galungan
Hari Raya
Galungan adalah Hari Raya Umat Hindu yang dirayakan setiap 6 bulan sekali,
sesuai dengan kalender penanggalan Bali yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan.
Kata Galungan dalam bahasa jawa Kuno berarti menang, dan makna dari perayaan
Hari Raya Galungan ini adalah untuk merayakan kemenangan dharma atau kebajikan
melawan adharma atau kebhatilan dan menghaturkan rasa terima kasih dan
angayubagia ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi /Tuhan yang maha Esa atas
terciptanya dunia serta segala isinya dan atas karunia yang telah
dilimpahkan-Nya. Hari raya Galungan selama ini sering dimaknai sebagai Hari
raya untuk merayakan kemenangan Dharma (Kebaikan ) melawan Adharma (Kejahatan)
yang mana hal ini dikaitkan dengan cerita kemenangan Dewa Indra melawan Raksasa
Maya Denava.Maka dari itu selain mengetahui tentang pengertian hari raya
galungan yang upacaranya kita harus mengetahui makna yang terkandung dalam hari
raya galungan.
Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan,
bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi.
Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan.
Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha
suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia
serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas
karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya
di dunia ini.
4.
Kuningan
Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari
atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku
Kuningan, (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari) yang jatuh pada hari ini
Sabtu, 7 April 2013.
Kuningan
adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Pada hari ini
dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai
tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima
anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya
itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam
tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah
wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita
semua, khususnya umat Hindu di Bali maupun umat Hindu di luar Bali.
Dalam Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul
tamiang dan endongan, di mana makna tamiang memiliki lambang
perlindungan dan juga melambangkan perputaran roda alam yang mengingatkan
manusia pada hukum alam. Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan
alam, atau tidak taat dengan hukum alam, risikonya akan tergilas oleh roda
alam. Oleh karena itu melalui perayaan ini umat diharapkan mampu menata kembali
kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan agama Hindu. Sedangkan endongan
maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan
adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh
adalah ketenangan pikiran.
Perayaan ini juga dimaksudkan agar umat selalu ingat kepada Sang
Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan mensyukuri karunia-Nya. Melalui
perayaan ini umat juga dituntut selalu ingat menyamabraya, meningkatkan
persatuan dan solidaritas sosial. Selain itu, melalui rerahinan kuningan umat
diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam
semesta beserta isinya.
5.
Purnama dan Tilem
Purnama dan
Tilem adalah hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan
karunia dari Hyang Widhi. Hari Purnama, sesuai dengan namanya, jatuh setiap
malam bulan penuh (Sukla Paksa). Sedangkan hari Tilem dirayakan setiap malam
pada waktu bulan mati (Krsna Paksa). Kedua hari suci ini dirayakan setiap 30
atau 29 hari sekali.
Pada hari
Purnama dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Chandra, sedangkan pada hari
Tilem dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Surya. Keduanya merupakan
manifestasi dari Hyang Widhi yang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran
(mala). Pada kedua hari ini hendaknya diadakan upacara persembahyangan dengan
rangkaiannya berupa upakara yadnya.
Ada hari-hari utama
penyelenggaraan upacara persembahyangan sejak dulu sama nilai keutamaanya yaitu
hari Purnama dan Tilem. Pada hari Purnama, bertepatan dengan Sanghyang Candra
beryoga dan pada hari Tilem, bertepatan dengan Sanghyang Surya beyoga
memohonkan keselamatan kepada Hyang Widhi. Pada hari suci demikian itu, sudah
seyogyanya kita para rohaniawan dan semua umat manusia menyucikan dirinya lahir
batin dengan melakukan upacara persembahyangan dan menghaturkan yadnya
kehadapan Hyang Widhi.
Pada hari
Purnama dan Tilem ini sebaiknya umat melakukan pembersihan lahir batin. Karena
itu, disamping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk
memohon anugrah-Nya, umat juga hendaknya melakukan pembersihan badan dengan
air. Kondisi bersih secara lahir dan batin ini sangat penting karena dalam jiwa
yang bersih akan muncul pikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih pula.
Kebersihan juga sangat penting dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam
hubungan dengan pemujaan kepada Hyang Widhi.
B.
Pengertian dan Fungsi Tempat Suci
Tempat Suci
Hindu adalah suatu tempat maupun bangunan yang dikeramatkan oleh umat Hindu
atau tepat persembahyangan bagi umat Hindu untuk memuja Brahman beserta
aspek-aspeknya. Di Tanah Hindu, banyak kuil yang didedikasikan untuk Dewa-Dewi
Hindu, beserta inkarnasinya ke dunia (awatara), seperti misalnya Rama dan
Kresna. Di India setiap kuil menitikberatkan pemujaannya terhadap Dewa-Dewi
tertentu, termasuk memuja Bhatara Rama dan Bhatara Kresna sebagai utusan Tuhan
untuk melindungi umat manusia.
Kesucian
identik dengan kehormatan, jadi tempat suci adalah tempat yang di sucikan dan
di hormati yang digunakan untuk sesembahan suatu agama kepada Tuhan, baik itu
agama Hindu maupun Budha. Didalamnya tidak boleh melakukan hal-hal yang tercela
. Maupun sesuatu obrolan yang bersifat keduniawian. Maka dari itu tempat suci
ini selain sebagai simbol identitas suatu agama, tapi juga menjadi kebanggan
tersendiri dengan sifat kesakralannya.
C.
Jenis-Jenis Tempat Suci
1.
Pura
Istilah pura berasal dari kata Pur
yang artinya Kola, bening. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk
dunia kesucian. Sebelum Pura diperkenalkan sebagai tempat suci atau tempat
pemujaan, dipergunakan Hyang atau Kahyangan untuk tempat pemujaan umat Hindu.
Mengenai pura sendiri yang
terpenting bukan puranya sebagai bangunan, melainkan tanah, tempat pura itu
didirikan. Tanah itu adalah tanah suci. Di sebidang tanah suci yang dipilih
oleh salah seorang tokoh dewa, orang Bali mendirikan bangunan bagi dewa itu.
Pura-pura ini bukanlah tempat tinggal dewa yang sebenarnya, melainkan hanya
tempat tinggal sementara, semacam tempat penginapan.[2]
2. Candi
Candi berasal
dari kata Candika Grha artinya Rumah Durga. Dan pengertian ini akhirnya candi
dijadikan tempat pemujaan untuk Dewi Durga. Di India candi merupakan sarana
pemujaan, dan merupakan simbol gunung Mahameru sebagai tempat para Dewa. Maka
itu, candi merupakan tempat pemujaan kepada dewa. Nama lain candi adalah
Prasada, Sudarma, Mandira. Menurut Dr. Sukmono mengatakan bahwa fungsi candi
seperti:
a. Candi
berfungsi sebagai tempat pemujaan, seperti Candi Dieng, Candi Prambanan, Candi
Penataran.
b.
Candi berfungsi sebagai pemujaan roh suci, seperti Candi Kidak, Candi Jago,
Candi Singosari, Candi Simpino, Candi Jaui.
c.
Candi berfungsi sebagai tempat semedi, seperti Candi Borobudur, Candi Pauon,
Candi Mendut, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Sari.
3.
Kuil atau Mandir
Kuil (Mandir) adalah tempat suci umat
Hindu dari keturunan India Tamil. Fungsi Kuil adalah tempat suci untuk memuja
manifestasi Tuhan (Dewa) yang dikagumi.
4.
Balai Antang
Balai Antang adalah tempat suci umat
Hindu dari Kaharingan. Balai Antang ini dibuat dari kayu yang dirangkai
sehingga bentuknya mirip dengan pelangkiran di Bali. Fungsi Balai Antang adalah
sebagai tempat menstanakan roh leluhur yang sudah di sucikan yang bersifat
sementara.
5. Balai
Kaharingan
Balai
Kaharingan adalah tempat suci umat Hindu dari Kaharingan. Bentuk hampir mirip
bangunan rumah, dan di ruangan diletakkan sebuah tiang yang besar sebagai
penyangga. Atapnya bersusun tiga, semakin keatas semakin kecil. Fungsi Balai
Kaharingan adalah untuk menstanakan Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya.
Balai Kaharingan dibangun ditengah-tengah wilayah masyarakat atau pada tempat
yang mudah dijangkau oleh umat Hindu Kaharingan untuk melaksanakan
persembahyangan.
6. Sandung
Sandung adalah
tempat suci umat Hindu Kaharingan. Sandung terbuat dari kayu dirangkai
berbentuk pelinggih rong satu, bentuk atapnya segi tiga sama kaki dan memakai
satu tiang sebagai penyangga. Sandung diletakkan diluar rumah atau
dipekarangan. Fungsi Sandung adalah sebagai Stana roh leluhur yang telah
disucikan.
7.
Inan Kapemalaran Pak Buaran
Adalah tempat
suci umat Hindu Tanah Toraja, dengan ciri-cirinya terdapat Lingga/batu besar,
Pohon Cendana dan Pohon Andong. Pak Buaran merupakan tempat sembahyang yang
digunakan dalam lingkungan satu Desa (di Bali sama dengan Pura Desa).
8. Inan
Kapemalaran Pedatuan
Adalah tempat suci umat Hindu Tanah Toraja. dengan ciri-cirinya, terdapat
lingga / batu besar. pohon cendana dan pohon andong. Pedatun ini merupakan
tempat sembahyangyang digunakan dalam beberapa lingkungan keluarga (di Bali =
Banjar). Pedatuan ini biasanya terleiak dilereng Gunung.
9.
Inan Kapemalaran Pak Pesungan
Adalah tempat sembahyang bagi umat Hindu di Tanah Toraja, yang digunakan
dalam lingkungan rumah tangga (di Bali = merajan).
10. Sanggar
Adalah salah
satu bentuk tempat persembahyangan umat Hindu di Jawa. Sanggar ini merupakan
tempat suci yang ukuran ruangnya kecil yang berisikan satu buah Padmasana untuk
tempat persembahyangan yang bersifat umum.
D. Candi-Candi Hindu di Indonesia
1.
Candi Cetho

Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa
akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya
dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan
penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi
dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda.
Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki
usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto,
Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di
atas permukaan laut.
Ciri-cirinya:
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.
2.
Candi Asu

Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan budaya Hindu yang terletak
di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang,
provinsi Jawa Tengah (kira-kira 10 km di sebelah timur laut dari candi Ngawen).
Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan
candi Lumbung (Magelang). Nama candi tersebut merupakan nama baru yang
diberikan oleh masyarakat sekitarnya.
Ciri-cirinya:
Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).
Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).
3.
Candi Gunung Wukir

Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal adalah candi Hindu yang berada di
dusun Canggal, kalurahan Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.
Candi ini tepatnya berada di atas bukit Gunung Wukir dari lereng gunung Merapi
pada perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi
ini merupakan candi tertua yang dibangun pada saat pemerintahan raja Sanjaya
dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada tahun 732 M (654 tahun Saka).
Ciri-cirinya:
Kompleks dari
reruntuhan candi ini mempunyai ukuran 50 m x 50 m terbuat dari jenis batu
andesit, dan di sini pada tahun 1879 ditemukan prasasti Canggal yang banyak
kita kenal sekarang ini. Selain prasasti Canggal, dalam candi ini dulu juga
ditemukan altar yoni, patung lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina
atau Andini.
4. Candi Prambanan

Berdiri di bawah Candi Hindu terbesar di Asia Tenggara ini selarik puisi
tiba-tiba terlintas di benak Candi Prambanan yang dikenal juga sebagai Candi
Roro Jonggrang ini menyimpan suatu legenda yang menjadi bacaan pokok di
buku-buku ajaran bagi anak-anak sekolah dasar. Kisah Bandung Bondowoso dari
Kerajaan Pengging yang ingin memperistri dara cantik bernama Roro Jonggrang. Si
putri menolak dengan halus. Ia mempersyaratkan 1000 candi yang dibuat hanya
dalam waktu semalam. Bandung yang memiliki kesaktian serta merta menyetujuinya.
Seribu candi itu hampir berhasil dibangun bila akal licik sang putri tidak ikut
campur. Bandung yang kecewa lalu mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca, yang
diduga menjadi arca Batari Durga di salah satu candi.
5. Candi Gunung Sari

Candi Gunung Sari adalah salah satu candi Hindu Siwa yang ada di Jawa.
Lokasi candi ini berdekatan dengan Candi Gunung Wukir tempat ditemukannya
Prasasti Canggal..
Ciri-cirinya:
Candi Gunung
Sari dilihat dari ornamen, bentuk, dan arsitekturnya kemungkinan lebih tua dari
pada Candi Gunung Wukir. Di Puncak Gunung Sari kita bisa melihat pemandangan
yang sangat mempesona dan menakjubkan. Candi Gunung Sari terletak di Desa
Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Semoga di
masa depan Candi Gunung Sari semakin dikenal oleh banyak orang untuk dapat
menemukan inspirasi dan keindahanny.
Kesimpulan
Dalam
agama Hindu-Buddha upacara bukanlah sekedar upacara biasa yang bertujuan untuk
menghibur. Melainkan, banyak makna yang terkandung dari setiap upacara
tersebut. Seperti hari Nyepi yang bermakna sebagai penyucian diri dari roh-roh
jahat, melalui tidak bekerja dan tidak berbuat apa-apa dan hanya menetap di
dalam rumah saja. Begitu juga upacara Asadha dalam Buddha. Sebab, dengan
terjadinya peristiwa Asadha itulah, maka sampai saat ini umat Buddha masih
dapat mengenal Buddha Dhamma yang merupakan rahasia hidup dan kehidupan ini.
Selain
upacara-upacaranya yang begitu sakral, ada juga monument-monumennya yang sangat
bersejarah, yang sedikit banyak menyisakan perjalanan kejayaan Hindu-Buddha
ketika itu, seperti Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah yang sempat
dinobatkan sebagai salah-satu dai Tujuh Keajaiban Dunia. Begitu juga agama
Hindu, mereka memiliki Candi Prambanan yang terkenal sebagai candi terbesar
se-Asia Tenggara serta memiliki sarat sejarah yang cukup terkenal.
Masuk dan
berkembangnya agama Islam di Indonesia, membuat agama Hindu-Buddha menjadi
terkikis sedikit demi sedikit. Hal ini sedikit banyak meruntuhkan kesakralan
candi-candi agama Hindu-Buddha di Indonesia. Meski begitu, candi-candi ini
tetaplah menjadi suatu yang penting bagi Indonesia karena ini menandakan bahwa
Indonesia adalah menjadi saksi sejarah perjalanan agama Hindu-Buddha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar