Rabu, 24 Juni 2015

Makalah Kelompok 7 (revisi)



BAB I
PENDAHULUAN

              Agama Hindu masuk ke Bali tak lepas dari pengaruh kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Gadjah Mada yang dipukul mundur oleh Kerajaan Islam Demak dari pulau Jawa.[1] Walaupun sejarah masuknya Hindu di Bali masih simpang siur, akan tetapi pengaruh Majapahit ini cukup mendominasi. Dalam masa dewasa ini, Bali seakan menjadi pusat Hindu di Indonesia yang memiliki daya tarik tersendiri. Setiap mendengar agama di Bali maka yang terpikirkan adalah agama Hindu, dan mendengar agama di Jawa identik dengan Islam, walaupun sejarah Hindu sebenarnya berasal dari pulau Jawa.
              Sedangkan agama Buddha bukan agama baru dalam sejarah bangsa Indonesia, tetapi adalah agama yang sudah lama berkembang di bumi Nusantara ini. Agama Buddha telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman keemasan yang jaya dalam zaman kedatuan Sriwijaya dan dalam zaman keprabuan Majapahit.[2] Bahkan agama Buddha telah berhasil mewujudkan hasil karya budaya bangsa Indonesia yang agung, yaitu candi Borobudur, yang merupaka salah-satu keajaiban dunia.
              Maka dari itu dalam makalah ini akan dibahas beberapa sejarah tentang hari-hari suci agama Hindu dan Buddha, serta peradaban-peradaban yang ditinggalkan oleh masa kejayaan Hindu-Buddha seperti candi-candi yang dijadikan symbol kejayaan Hindu-Buddha di Nusantara ketika itu.



BAB II
PEMBAHASAN
I.            Agama Buddha
A.   Hari-Hari Suci Agama Buddha
1.     Hari Waisak
Waisak atau Waisaka (Pali; Sanskrit: Vaiśākha वैशाख) merupakan hari suci agama buddha. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Saga Dawa di Tibet, Vesak di Malaysia, dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali "Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan "Waishakha" dari bahasa Sansekerta. Di beberapa tempat disebut juga sebagai "hari Buddha".[3]
Dirayakan dalam bulan Mei pada waktu terang bulan (purnama sidhi) untuk memperingati 3 (tiga) peristiwa penting, yaitu :
1.      Lahirnya pangeran Siddharta di Taman Lumbini pada tahun 623 S.M.,
2.      Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha di Buddha-Gaya (Bodhagaya) pada usia 35 tahun pada tahun 588 S.M.
3.      Buddha Gautama Parrinibana (wafat) di Kusinara pada usia 80 tahun pada tahun 543 S.M.
Tiga peristiwa ini dinamakan "Trisuci Waisak". Keputusan merayakan Tri suci ini dinyatakan dalam Konferensi Persaudaraan Buddhis Sedunia (World Fellowship of Buddhists - WFB) yang pertama di Sri Lanka pada tahun 1950. Perayaan ini dilakukan pada purnama pertama di bulan mei. Waisak sendiri adalah nama salah satu bulan dalam penanggalan India Kuno. Perayaan Hari Waisak di Indonesia mengikuti keputusan WFB. Secara tradisional dipusatkan secara nasional di komplek Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Rangkaian perayaan Waisak nasional secara pokok adalah sebagai berikut:
1.      Pengambilan air berkat dari mata air (umbul) Jumprit di Kabupaten Temanggung dan penyalaan obor menggunakan sumber api abadi Mrapen Kabupaten Grobogan
2.      Ritual "Pindapatta", suatu ritual pemberian dana makanan kepada para bhikkhu/bhiksu oleh masyarakat (umat) untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan kebajikan.
3.      Samadhi pada detik-detik puncak bulan purnama. Penentuan bulan purnama ini adalah berdasarkan perhitungan falak, sehingga puncak purnama dapat terjadi pada siang hari.
Selain tiga upacara pokok tadi dilakukan pula pradaksina, pawai, serta acara kesenian.
Hari Raya Waisak, bersamaan dengan Hari Raya Nyepi, ditetapkan sebagai hari libur nasional berdasarkan Keppres Nomor 3 tahun 1983 tanggal 19 Januari 1983.
2.      Asadha
Peristiwa suci Asadha merupakan peristiwa yang mempunyai arti yang amat penting, bahkan mempunyai nilai keramat bagi kemanusiaan. Sebab, dengan terjadinya peristiwa Asadha itulah, maka sampai saat ini umat Buddha masih dapat mengenal Buddha Dhamma yang merupakan rahasia hidup dan kehidupan ini. Buddha Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya.
Hari suci Asadha memperingati tiga peristiwa penting, yaitu :
1)      Khotbah pertama Sang Buddha kepada lima orang pertapa di Taman Rusa Isipatana.
2)      Terbentuknya sangha Bhikkhu yang pertama.
3)      Lengkapnya Tiratana/Triratna ( Buddha, Dhamma, dan Sangha ).
Tepat dua bulan setelah mencapai Penerangan Sempurna, Sang Buddha membabarkan Dhamma untuk pertama kalinya kepada lima orang pertapa di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Mereka yang kemudian disebut Panca Vaggiya Bhikkhu ini adalah Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji.
Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Sang Buddha membentuk Sangha Bhikkhu yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan  oleh  Sang Buddha).
Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Sang Buddha sebagai guru dan teladannya.
3.      Kathina
Hari Suci Kathina atau Khathina Puja merupakan hari bakti umat Buddha kepada Sangha. Sangha merupakan persaudaraan para bhikkhu / bhikkhuni. Sangha merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta ini. Sangha merupakan pewaris dan pengamal Buddha Dhamma yang patut dihormati. Dengan adanya Sangha, yang anggotanya menjalankan peraturan-peraturan kebhikkhuan (vinaya) dengan baik. Buddha Dhamma akan berkembang terus di dunia ini. Sangha merupakan pemeliharaan kitab Suci Tipitaka / Tripitaka.
Umat Buddha berterima kasih kepada Sangha dengan menyelenggarakan perayaan Kathina Puja. Umat Buddha berterima kasih kepada para bhikkhu / bhikkhuni yang telah menjalankan masa vassa di daerah mereka, dengan mempersembahkan Kain Kathina (Kathinadussam) yang berwana putih sebagai bahan pembuatan jubah Kathina.
Kathina Puja diselenggarakan selama satu bulan, mulai dari sehari sesudah para bhikkhu / bhikkhuni selesai menjalankan masa vassa. Masa vassa adalah masa musim hujan di daerah kelahiran Sang Buddha. Lamanya masa vassa adalah tiga bulan, yaitu sehari sesudah bulan purnama penuh dibulan Asadha (Juli) sampai dengan sehari sebelum hari Kathina (Oktober). Selama masa vassa, para bhikkhu / bhikkhuni harus berdiam di suatu tempat (vihara) yang telah ditentukan. 

B.     Pengertian dan Fungsi Vihara
Pada jaman Buddha masih hidup vihara digunakan sebagai tempat tinggal para bhikkhu. Sekarang vihara beralih fungsi sebagai tempat untuk melaksanakan puja bakti atau persembahan puja dari umat Buddha kepada sang Buddha.
Vihara yang lengkap terdiri dari:
1.      Uposathagara, yaitu gedung uposatha (pesamuan para bhikkhu), uposathagara merupakan suatu tempat di vihara  yang digunakan untuk  melakukan kegiatan yang berhubungan dengan penerangan vinaya, penabisan bhikkhu, untuk upacara pembacaan patimokha yaitu 227 peraturan kebhikkhuan pada bulan gelap dan bulan terang, upacara untuk mengakui kesalahan-kesalahan para bhikkhu pada saat melaksanakan vassa, tempat untuk melakukan upacara persembahan jubah khatina.
2.      Dhammasala atau dharmasala, yaitu tempat puja bakti dan pembabaran dhamma. Ditempat inilah umat Buddha melakukan puja bakti  dan mendengarkan uraian dhamma dari para bhikkhu, pandita atau dharmaduta.
3.      Kuti, yaitu tempat tinggal untuk para bhikkhu, bhikkhuni, samanera dan samaneri. Didalam kuti para bhikkhu, bhikkhuni, samanera dan samaneri tinggal, melatih diri, seperti bermeditasi.
4.      Perpustakaan, sama seperi fungsi perpustakaan lainya yaitu sebagai tempat untuk buku-buku agama atau yang isinya berhubungan dengan keagamaan dan berbagai pengetahuan lainya. Juga merupakan tempat menyimpan kitap suci. Perpustakaan bisa digunakan untuk para bhikkhu maupun umat awam yang ingin belajar dhamma.
5.      Pohon Bodhi, pohon kebijaksanaan yang mengingatkan pada pencerahan dari pertapa gotama.
Di vihara umat Buddha melakukan penghormatan kepada buddharupang (patung Buddha) sebagai simbolis dari perwujudan tubuh Buddha. Umat bisa melakukan bakti sosial, sharing dhamma, dan berbagai kegiatan lainya yang berhubungan dengan keagamaan di vihara.

C.     Candi-Candi Buddha di Indonesia
1.      Candi Borobudur
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagaipuncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra
2.      Candi Mendut
Ciri-Cirinya:
            Hiasan yang terdapat pada Candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
            Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi Borobudur. Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
3.      Candi Ngawen
Ciri-Ciri nya :
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M.
4.      Candi Lumbung
Ciri-cirinya :
Dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relative cukup bagus
Candi Lumbung adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini merupakan kumpulan dari satu candi utama (bertema bangunan candi Buddha). 
5.      Candi Banyunio
Candi Banyunibo yang berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) adalah candi Buddha yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur dari kota Yogyakarta ke arah kota Wonosari. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini terdapat sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha.
Ciri-cirinya:

Keadaan dari candi ini terlihat masih cukup kokoh dan utuh dengan ukiran relief kala-makara dan bentuk relief lainnya yang masih nampak sangat jelas. Candi yang mempunyai bagian ruangan tengah ini pertama kali ditemukan dan diperbaiki kembali pada tahun 1940-an, dan sekarang berada di tengah wilayah persawahan.
D.    Aneka Candi di Indonesia
Drs. R. Soetarno dalam buku Aneka Candi Kuno di Indonesia membagi candi-candi berdasarkan tempat candi berada dan dikelompokkan menjadi (1) Jawa Tengah Selatan, (2) Jawa Tengah Utara, (3) Jawa Timur dan (4) Luar Jawa. Mengenai candi-candi di Luar Jawa itu dibagi lagi menjadi (a) Kelompok Candi Muara Takus, (b) Kelompok Candi Gunung Tua dan (c) Kelompok Candi di Gunung Kawi, Tampak Siring.[4]
Candi-candi di Jawa Utara besifat Hindu, sedang di Jawa Tengah bagian Selatan (kecuali Candi Prambanan dan Candi-Candi kecil) bersifat Buddha. Kenyataan ini nantinya mendukung bahwa Raja Sanjaya sebagai Raja pertama yang beragama Syiwa memiliki kekuasaan dibagian utara wilayah Jawa Tengah. Sedangkan wilayah kekuasaan dinasti Syailendra yang beragama Buddha Mahayana berada dibagian selatang Jawa Tengah.

II.            Agama Hindu
A.     Hari-Hari Suci
1.      Nyepi
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Ada yang berpendapat bahwa pada saat ini bumi menderita sakit dan panas. Batara Yama, dewa maut, menyebarkan roh-roh jahat, sehingga seluruh bali harus di sucikan. Penyucian ini di ikuti oleh satu hari yang sunyi sekali.[5]
periode waktu satu tahun sekali tepatnya pada tahun baru saka. Pada saat ini matahari menuju garis lintang utara, saat Uttarayana yang disebut juga Devayana yakni waktu yang baik untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Sehari sebelum perayaan hari raya Nyepi dilengkapi dengan upacara Tawur (Bhuta Yajna) yaitu hari Tilem Chaitra dengan ketentuannya dari lontar Sang Hyang Aji Swamandala yang menyatakan apabila melaksanakan tawur hendaknya jangan mencari hari lain selain Tilem bulan Chaitra.
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Keesokan harinya, yaitu pada pinanggal pisan, sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi. 
2.      Ciwaratri
Perayaan Siwa Ratri adalah salah satu bentuk ritual Hindu yang mengajarkan kita untuk selalu memelihara kesadaran diri agar terhindar dari perbuatan dosa dan papa. Diakui atau tidak, manusia sering lupa, karena memiliki keterbatasan. Kerena sering mengalami lupa itu, maka setiap tahun pada sasih kepitu (bulan ketujuh menurut penanggalan Bali), dilangsungkan upacara Siwa Ratri dengan inti perayaan malam pejagraan. Pejagraan yang asal katanya jagra itu artinya sadar, eling atau melek.
 Orang yang selalu jagralah yang dapat menghindar dari perbuatan dosa. Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.
Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.
Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata : Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, menyebabkan orang menjadi tersinggung. Maunya melakukan tapa mona brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian.
Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling mengunjungi kerumah sahabat, handai taulan sambil bermaaf-maafan.
3.      Galungan
Hari Raya Galungan adalah Hari Raya Umat Hindu yang dirayakan setiap 6 bulan sekali, sesuai dengan kalender penanggalan Bali yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan. Kata Galungan dalam bahasa jawa Kuno berarti menang, dan makna dari perayaan Hari Raya Galungan ini adalah untuk merayakan kemenangan dharma atau kebajikan melawan adharma atau kebhatilan dan menghaturkan rasa terima kasih dan angayubagia ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi /Tuhan yang maha Esa atas terciptanya dunia serta segala isinya dan atas karunia yang telah dilimpahkan-Nya. Hari raya Galungan selama ini sering dimaknai sebagai Hari raya untuk merayakan kemenangan Dharma (Kebaikan ) melawan Adharma (Kejahatan) yang mana hal ini dikaitkan dengan cerita kemenangan Dewa Indra melawan Raksasa Maya Denava.Maka dari itu selain mengetahui tentang pengertian hari raya galungan yang upacaranya kita harus mengetahui makna yang terkandung dalam hari raya galungan.
Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini. 
4.      Kuningan
            Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan, (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari) yang jatuh pada hari ini Sabtu, 7 April 2013.
Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Pada hari ini dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua, khususnya umat Hindu di Bali maupun umat Hindu di luar Bali.
Dalam Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga melambangkan perputaran roda alam yang mengingatkan manusia pada hukum alam. Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau tidak taat dengan hukum alam, risikonya akan tergilas oleh roda alam. Oleh karena itu melalui perayaan ini umat diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan agama Hindu. Sedangkan endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran. 
Perayaan ini juga dimaksudkan agar umat selalu ingat kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan mensyukuri karunia-Nya. Melalui perayaan ini umat juga dituntut selalu ingat menyamabraya, meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial. Selain itu, melalui rerahinan kuningan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta beserta isinya. 
5.      Purnama dan Tilem
Purnama dan Tilem adalah hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi. Hari Purnama, sesuai dengan namanya, jatuh setiap malam bulan penuh (Sukla Paksa). Sedangkan hari Tilem dirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna Paksa). Kedua hari suci ini dirayakan setiap 30 atau 29 hari sekali.
Pada hari Purnama dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Chandra, sedangkan pada hari Tilem dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Surya. Keduanya merupakan manifestasi dari Hyang Widhi yang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (mala). Pada kedua hari ini hendaknya diadakan upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya.
Ada hari-hari utama penyelenggaraan upacara persembahyangan sejak dulu sama nilai keutamaanya yaitu hari Purnama dan Tilem. Pada hari Purnama, bertepatan dengan Sanghyang Candra beryoga dan pada hari Tilem, bertepatan dengan Sanghyang Surya beyoga memohonkan keselamatan kepada Hyang Widhi. Pada hari suci demikian itu, sudah seyogyanya kita para rohaniawan dan semua umat manusia menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan upacara persembahyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Hyang Widhi.
Pada hari Purnama dan Tilem ini sebaiknya umat melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, disamping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, umat juga hendaknya melakukan pembersihan badan dengan air. Kondisi bersih secara lahir dan batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungan dengan pemujaan kepada Hyang Widhi.
 
B.     Pengertian dan Fungsi Tempat Suci
Tempat Suci Hindu adalah suatu tempat maupun bangunan yang dikeramatkan oleh umat Hindu atau tepat persembahyangan bagi umat Hindu untuk memuja Brahman beserta aspek-aspeknya. Di Tanah Hindu, banyak kuil yang didedikasikan untuk Dewa-Dewi Hindu, beserta inkarnasinya ke dunia (awatara), seperti misalnya Rama dan Kresna. Di India setiap kuil menitikberatkan pemujaannya terhadap Dewa-Dewi tertentu, termasuk memuja Bhatara Rama dan Bhatara Kresna sebagai utusan Tuhan untuk melindungi umat manusia.
Kesucian identik dengan kehormatan, jadi tempat suci adalah tempat yang di sucikan dan di hormati yang digunakan untuk sesembahan suatu agama kepada Tuhan, baik itu agama Hindu maupun Budha. Didalamnya tidak boleh melakukan hal-hal yang tercela . Maupun sesuatu obrolan yang bersifat keduniawian. Maka dari itu tempat suci ini selain sebagai simbol identitas suatu agama, tapi juga menjadi kebanggan tersendiri dengan sifat kesakralannya.

C.     Jenis-Jenis Tempat Suci
1.      Pura
            Istilah pura berasal dari kata Pur yang artinya Kola, bening. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian. Sebelum Pura diperkenalkan sebagai tempat suci atau tempat pemujaan, dipergunakan Hyang atau Kahyangan untuk tempat pemujaan umat Hindu.
Mengenai pura sendiri yang terpenting bukan puranya sebagai bangunan, melainkan tanah, tempat pura itu didirikan. Tanah itu adalah tanah suci. Di sebidang tanah suci yang dipilih oleh salah seorang tokoh dewa, orang Bali mendirikan bangunan bagi dewa itu. Pura-pura ini bukanlah tempat tinggal dewa yang sebenarnya, melainkan hanya tempat tinggal sementara, semacam tempat penginapan.[6]
2.      Candi
Candi berasal dari kata Candika Grha artinya Rumah Durga. Dan pengertian ini akhirnya candi dijadikan tempat pemujaan untuk Dewi Durga. Di India candi merupakan sarana pemujaan, dan merupakan simbol gunung Mahameru sebagai tempat para Dewa. Maka itu, candi merupakan tempat pemujaan kepada dewa. Nama lain candi adalah Prasada, Sudarma, Mandira.   
Menurut Dr. Sukmono mengatakan bahwa fungsi candi seperti:
a)      Candi berfungsi sebagai tempat pemujaan, seperti Candi Dieng, Candi Prambanan, Candi Penataran.
b)      Candi berfungsi sebagai pemujaan roh suci, seperti Candi Kidak, Candi Jago, Candi Singosari, Candi Simpino, Candi Jaui.
c)       Candi berfungsi sebagai tempat semedi, seperti Candi Borobudur, Candi Pauon, Candi Mendut, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Sari.
3.      Kuil atau Mandir
Kuil (Mandir) adalah tempat suci umat Hindu dari keturunan India Tamil. Fungsi Kuil adalah tempat suci untuk memuja manifestasi Tuhan (Dewa) yang dikagumi.
4.      Balai Antang
Balai Antang adalah tempat suci umat Hindu dari Kaharingan. Balai Antang ini dibuat dari kayu yang dirangkai sehingga bentuknya mirip dengan pelangkiran di Bali. Fungsi Balai Antang adalah sebagai tempat menstanakan roh leluhur yang sudah di sucikan yang bersifat sementara.
5.      Balai Kaharingan
Balai Kaharingan adalah tempat suci umat Hindu dari Kaharingan. Bentuk hampir mirip bangunan rumah, dan di ruangan diletakkan sebuah tiang yang besar sebagai penyangga. Atapnya bersusun tiga, semakin keatas semakin kecil. Fungsi Balai Kaharingan adalah untuk menstanakan Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya. Balai Kaharingan dibangun ditengah-tengah wilayah masyarakat atau pada tempat yang mudah dijangkau oleh umat Hindu Kaharingan untuk melaksanakan persembahyangan.
6.      Sandung
Sandung adalah tempat suci umat Hindu Kaharingan. Sandung terbuat dari kayu dirangkai berbentuk pelinggih rong satu, bentuk atapnya segi tiga sama kaki dan memakai satu tiang sebagai penyangga. Sandung diletakkan diluar rumah atau dipekarangan. Fungsi Sandung adalah sebagai Stana roh leluhur yang telah disucikan.
7.      Inan Kapemalaran Pak Buaran
Adalah tempat suci umat Hindu Tanah Toraja, dengan ciri-cirinya terdapat Lingga/batu besar, Pohon Cendana dan Pohon Andong. Pak Buaran merupakan tempat sembahyang yang digunakan dalam lingkungan satu Desa (di Bali sama dengan Pura Desa).
8.      Inan Kapemalaran Pedatuan
Adalah tempat suci umat Hindu Tanah Toraja. dengan ciri-cirinya, terdapat lingga / batu besar. pohon cendana dan pohon andong. Pedatun ini merupakan tempat sembahyangyang digunakan dalam beberapa lingkungan keluarga (di Bali = Banjar). Pedatuan ini biasanya terleiak dilereng Gunung.
9.      Inan Kapemalaran Pak Pesungan
Adalah tempat sembahyang bagi umat Hindu di Tanah Toraja, yang digunakan dalam lingkungan rumah tangga (di Bali = merajan).
10.   Sanggar
Adalah salah satu bentuk tempat persembahyangan umat Hindu di Jawa. Sanggar ini merupakan tempat suci yang ukuran ruangnya kecil yang berisikan satu buah Padmasana untuk tempat persembahyangan yang bersifat umum.


D.    Candi-Candi Hindu di Indonesia
1.       Candi Cetho
Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.
Ciri-cirinya:
            Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.
2.      Candi Asu
            Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, provinsi Jawa Tengah (kira-kira 10 km di sebelah timur laut dari candi Ngawen). Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung (Magelang). Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya.
Ciri-cirinya:
            Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’.
Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan). Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).
3.      Candi Gunung Wukir
Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal adalah candi Hindu yang berada di dusun Canggal, kalurahan Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Candi ini tepatnya berada di atas bukit Gunung Wukir dari lereng gunung Merapi pada perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi ini merupakan candi tertua yang dibangun pada saat pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada tahun 732 M (654 tahun Saka).
Ciri-cirinya:
Kompleks dari reruntuhan candi ini mempunyai ukuran 50 m x 50 m terbuat dari jenis batu andesit, dan di sini pada tahun 1879 ditemukan prasasti Canggal yang banyak kita kenal sekarang ini. Selain prasasti Canggal, dalam candi ini dulu juga ditemukan altar yoni, patung lingga (lambang dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Andini.
4. Candi Prambanan
            Berdiri di bawah Candi Hindu terbesar di Asia Tenggara ini selarik puisi tiba-tiba terlintas di benak Candi Prambanan yang dikenal juga sebagai Candi Roro Jonggrang ini menyimpan suatu legenda yang menjadi bacaan pokok di buku-buku ajaran bagi anak-anak sekolah dasar. Kisah Bandung Bondowoso dari Kerajaan Pengging yang ingin memperistri dara cantik bernama Roro Jonggrang. Si putri menolak dengan halus. Ia mempersyaratkan 1000 candi yang dibuat hanya dalam waktu semalam. Bandung yang memiliki kesaktian serta merta menyetujuinya. Seribu candi itu hampir berhasil dibangun bila akal licik sang putri tidak ikut campur. Bandung yang kecewa lalu mengutuk Roro Jonggrang menjadi arca, yang diduga menjadi arca Batari Durga di salah satu candi.
5.      Candi Gunung Sari
Candi Gunung Sari adalah salah satu candi Hindu Siwa yang ada di Jawa. Lokasi candi ini berdekatan dengan Candi Gunung Wukir tempat ditemukannya Prasasti Canggal..
Ciri-cirinya:
Candi Gunung Sari dilihat dari ornamen, bentuk, dan arsitekturnya kemungkinan lebih tua dari pada Candi Gunung Wukir. Di Puncak Gunung Sari kita bisa melihat pemandangan yang sangat mempesona dan menakjubkan. Candi Gunung Sari terletak di Desa Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Semoga di masa depan Candi Gunung Sari semakin dikenal oleh banyak orang untuk dapat menemukan inspirasi dan keindahannya.

 
BAB III
KESIMPULAN

            Dalam agama Hindu-Buddha upacara bukanlah sekedar upacara biasa yang bertujuan untuk menghibur. Melainkan, banyak makna yang terkandung dari setiap upacara tersebut. Seperti hari Nyepi yang bermakna sebagai penyucian diri dari roh-roh jahat, melalui tidak bekerja dan tidak berbuat apa-apa dan hanya menetap di dalam rumah saja. Begitu juga upacara Asadha dalam Buddha. Sebab, dengan terjadinya peristiwa Asadha itulah, maka sampai saat ini umat Buddha masih dapat mengenal Buddha Dhamma yang merupakan rahasia hidup dan kehidupan ini.
Selain upacara-upacaranya yang begitu sakral, ada juga monument-monumennya yang sangat bersejarah, yang sedikit banyak menyisakan perjalanan kejayaan Hindu-Buddha ketika itu, seperti Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah yang sempat dinobatkan sebagai salah-satu dai Tujuh Keajaiban Dunia. Begitu juga agama Hindu, mereka memiliki Candi Prambanan yang terkenal sebagai candi terbesar se-Asia Tenggara serta memiliki sarat sejarah yang cukup terkenal.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia, membuat agama Hindu-Buddha menjadi terkikis sedikit demi sedikit. Hal ini sedikit banyak meruntuhkan kesakralan candi-candi agama Hindu-Buddha di Indonesia. Meski begitu, candi-candi ini tetaplah menjadi suatu yang penting bagi Indonesia karena ini menandakan bahwa Indonesia adalah menjadi saksi sejarah perjalanan agama Hindu-Buddha.




BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Budha. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009.          

Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara- Negara Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2005.

Taher, Tarmizi. Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1997.

Tim Penyusun. Kapita Selekta Agama Buddha. Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi  Jakarta, 2003.




[1]Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Indonesia. (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2005), h. 10.
[2]Tarmizi Taher, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia. (Jakarta: Rajawali,1997), h. 21.
[4] Tim Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha, (Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi Jakarta, 2003), h. 13.
[5] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha, ( Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 158.
[6] Ibid, Harun Adiwijoyo, hal. 154