Tema
4
AJARAN
HINDU DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
1. Penciptaan
Manusia
Dari segi arti
katanya, manusia berasal dari kata manushya, artinya "Makhluk yang
memiliki pikiran." Manusia memiliki kesempurnaan peralatan untuk mengatur
dirinya menemui penciptanya, yaitu Tuhan. Manusia menurut ajaran agama Hindu
terdiri dari tubuh dan jiwa atau roh. Tubuh merupakan wujud yang kelihatan dan
yang bersifat fana. Ada saatnya nanti tubuh ini mengalami kebinasaan. Sedangkan
jiwa atau roh itu bersifat kekal. Hal ini dapat dilihat dari petikan kitab
Bhagawad Gitta II.16 dan Bhagawad Gitta II. 20 di bawah ini:
"Apa yang tak
akan pernah ada; apa yang ada tak akan pernah ada; apa yang ada tak akan pernah
berhenti ada; keduanya hanya dapat dimengerti oleh orang yang melihat
kebenaran. Yang tak pernah lahir dan mati; juga setelah ada tak akan berhenti
ada, tidak dilahirkan, kekal, abadi, selamanya, tidak mati dikala tubuh jasmani
mati."
Dalam zaman
Brahmana diuraikan bahwa manusia terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang
tampak dan tak nampak. Bagian yang tampak disebut rupa, yang tersusun dari lima
unsur, yaitu: rambut, kulit, daging, tulang, dan sum-sum. Bagian yang tidak
nampak disebut nama, terdiri dari unsur-unsur yang menentukan hidup. yaitu:
nafas (prana atau atman), akal (budhi), pemikiran (manas), penglihatan (caksu),
dan pendengaran (strotra). Manusia memiliki lima alat pengindraan
(Buddhendriya), yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba.
Juga memiliki lima alat bertindak (karmendriya), yaitu: tangan, alat melahirkan
(upastha), alat mengeluarkan (payu), kaki, lidah.
Manusia tediri dari
lima skandha (skandha artinya tonggak). Kelima skandha tersebut ialah rupa,
wedana, sanna, sankhara, dan winnana. Rupa adalah kerangka anatomis atau alat badani
kita, yaitu baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Sanna ialah
pengamatan dari segala macam, baik yang rohani maupun yang jasmani, yang dengan
perantara indra masuk ke dalam kesadaran. Sankhara adalah suatu skandha yang
sangat kompleks, yang di dalamnya mengandung kehendak, keinginan dan sebagainya
yang menjadikan skandha ini dapat menyusun gambar atau khayalan dari apa yang
diamati. Winnana adalah kesadaran. Yang disebut jiwa sebenarnya adalah kelima
skandha ini bersama-sama atau satu persatu.
Dalam diri manusia
terdapat atman. Atman tersebut diselubungi oleh beberapa selubung, yaitu dari
luar ke dalam: Selubung yang terdiri dari makanan atau tubuh sebagai selubung
jasmani (Annamaya atman); Selubung yang di bawah selubung jasmani, yaitu
selubung yang di tempati nafas hidup atau prana, yaitu selubung nafas ni
(Pranamaya atman); Selubung yang lebih mendalam lagi, yaitu selubung akali
(Manomaya atman); lalu terdapat selubung yang terdiri dari kesadaran
(Wijnanamaya atman); dan bagian terdalam terdapat atman dalam keadaan bahagia
(Anandamaya atman) yaitu inti sari manusia.
Manusia terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan
ahangkara, yang membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan
dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar, yang
bersama-sama membentuk tubuh manusia. Menurut ajaran agama Hindu,
manusia pertama disebut dengan nama: MANU, atau selengkapnya SWAYABHU-MANU,
tetapi ini bukan nama perseorangan. Sebab dalam bahasa sansekerta, Swayambhu
berarti: yang menjadikan diri sendiri. Suku kata “swayam” berarti diri sendiri,
dan suku kata “bhu” berarti: menjadi, dan kata “manu” berarti “mahluk berfikir
yang menjadikan dirinya sendiri”, yakni MANUSIA PERTAMA. Istilah manu sekarang
menjadi kata manusia. Menurut ajaran Hinduisme, semua manusia adalah keturunan
Manu.
Dalam
agama
Hindu,
Manu
adalah pemimpin setiap Manwantara, yaitu suatu kurun
zaman dalam satu kalpa.
Ada empat belas Manwantara, sehingga ada empat belas Manu. Zaman sekarang
adalah Manwantara ketujuh dan diperintah oleh Manu ketujuh yang bergelar
Waiwaswata Manu.
Manu yang pertama
adalah Swayambu Manu, yang dianggap sebagai kakek moyang manusia. Swayambu Manu
menikah dengan Satarupa dan memiliki keturunan. Anak cucu dari Manu disebut Manawa
(secara harfiah berarti keturunan Manu), merujuk kepada manusia zaman sekarang.
Menurut agama Hindu, Swayambu Manu dan Satarupa merupakan pria dan wanita
pertama di dunia, sama seperti Adam dan Hawa dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam.
Waiwaswata Manu,
atau Manu yang sekarang, dikatakan merupakan putra dari Surya (Wiwaswan), yaitu dewa
matahari menurut mitologi Hindu. Waiwaswata Manu terlahir pada zaman Satyayuga
dan mendirikan kerajaan bernama Kosala,
dengan pusat pemerintahan di Ayodhya. Ia
memiliki sepuluh anak: Wena, Dresnu (Dresta), Narisyan (Narisyanta), Nabaga, Ikswaku,
Karusa, Saryati, Ila,
Persadru (Persadra), dan Nabagarista. Dalam kitab Matsyapurana, ia muncul sebagai raja yang menyelamatkan umat
manusia dari bencana air bah setelah mendapat pesan dari Wisnu yang berwujud ikan (Matsya Awatara).
2. Penciptaan Alam
Dalam agama Hindu,
ajaran mengenai alam semesta tidak begitu jelas. Pengajaran mengenai alam
semesta tercakup dalam Kitab Agama atau kitab-kitab tantra. Pokok pengajaran
mengenai kitab-kitab ini membicarakan mengenai penciptaan alam semesta,
penyembahan dewa-dewa, jalan mencapai kesaktian, dan persekutuan dengan zat
yang tertinggi. Dunia ini keluar dari Brahman, melalui persekutuan antara
purusa (jiwa atau inti pribadi perseorangan, yang tidak berubah dan tidak
aktif) dan prakrti (bukan jiwa yang badani atau asas yang bersifat kebendaan,
tetapi yang dalam keadaan yang semula mewujudkan suatu kesatuan yang tanpa
pembedaan). Prakrti mengandung didalamnya triguna atau tiga tabiat, yaitu:
sattwa (tabiat terang), rajas (tabiat penggerat), dan tamas (tabiat yang gelap,
masa bodoh, malas, dsb). Karena hubungan praktri dengan purusa, nisbah (rasio)
antara ketiga tabiat tadi berubah-ubah, yang menyebabkan berkembangnya dunia
yang beraneka ragam ini.
Penciptaan hanya
suatu ragam saja dari penjelmaan ilahi. Dunia yang mengalir dari Brahman itu
terdiri dari mahabrahmanda atau makrosmos dan bratbrahmanda atau mikrosmos.
Mengenai penciptaan ini terdapat berbagai pandangan. Dalam kitab Bhagawad Gitta
III.10 dijelaskan mengenai hal ini, sekalipun masih samar-samar:
"Dahulu kala
Hyang Widhi menciptakan manusia dengan jalan yadhnya dan bersabda dengan ini
engkau akan berkembang dan mendapatkan kebahagiaan atau khamaduk sesuai dengan
keinginanmu."
(Sumber: Tony
Tedjo, Mengenal agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, (Pionir Jaya, Bandung:
2011)
3. Hubungan Manusia
dan Alam
Hindu dalam hal ini
Veda amat kaya akan konsep yang diulas secara sistimatis dan diakui bersama.
Salah satunya adalah konsep Rta dan Yajna dimana ini merupakan perlambang
adanya hubungan timbal balik antara manusia dengan alam dan berbagai ciptaan
yang lain dimana semua memiliki arti penting yang sama dalam menjaga ekosistim,
yang ketiganya saling membutuhkan satu sama lain, dan saling memberi dan
menerima. Ini berbeda dengan kepercayaan lain yang menempatkan manusia sebagai
superior dalam ciptaan atau penikmat dari segala yang diciptakan dimana konsep
ini memiliki sisi lemah dimana manusia dapat menjadi arogan dan menempatkan
alam dan ciptaan yang lain hanya sebagai sapi perahan, manusia hanya mengambil
keuntungan dari alam dan ciptaan yang lain tanpa memperhatikan keberlangsungan
dari alam tersebut, ini lah terjadi pada saat ini. Kini alam perlahan sudah
tidak ramah lagi pada manusia, bencana demi bencana kini hadir, lalu apakah ini
cobaan dari Tuhan? Menurut saya ini adalah dampak dari mulai tidak akrabnya
manusia dengan alam, manusia berkembang dengan tidak memperdulikan alam.
Secara lebih rinci
konsep-konsep dasar agama Hindu tentang hubungan timbal balik antara manusia
dan lingkungan hidup dimulai dari konsep “Rta” dan “ Yadnya”.
Rta Sebagai bagian
imanen (tak terpisahkan) dari alam. Manusia pada setiap tahap dalam
kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam.
Yadnya merupakan
hakikat hubungan antara manusia dengan alam yang terjadi dalam keadaan
harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam dan unsureunsur yang
dimiliki oleh manusia. Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus
selalu dijaga, salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik
ini
Salah satu konsep
yajna yang disadari oleh ajaran rta itu adalah:
Konsep Sad Kertih
Alam semesta ini
termasuk manusia menurut Veda terdiri dari unsur panca maha butha yang semua
saling berkaitaan satu dengan yang lain. Agar terjadi sinergi yang baik maka
berbagai kitab Hindu yang dirumuskan oleh lontar-lontar Purana di Bali oleh
orang-orang suci Hindu di Bali. Bagian-bagian dari Sad Kertih.
a. Atman Kertih
Yaitu suatu upaya
untuk melakukan pelestarian segala usaha untuk menyucikan Sang Hyang Atma dari
belenggu Tri Guna.. Disamping itu juga dilakukan usaha untuk melindungi dan
memelihara berbagai tempat yang dipakai dalam upacara penyucian Atman. Inti
Atma Kertia adalah mengupayakan tetap tegaknya fungsi kawasan suci,tempat suci
dan kegiatan suci sebagai media untuk membangun kesucian Atman. Pelestarian
alam yang terdapat disekitar kita yang nantinya bermanfaat untuk kemajuan
spiritual.
b. Samudra Kertih
Yaitu upaya untuk
menjaga kelestarian samudra sebagai sumber alam yang memiliki fungsi yang
sangat komplek dalam kehidupan umat manusia. Dilautlah diadakan Upacara
Nanggluk Merana.Upacara Melasti, Nganyut Abu Jenazah,Nganyut Sekah,Upacara
Mapekelem di laut dan lain-lain. Semua Upacara tersebut bermakna untuk
memotivasi umat agar memelihara kelestarian laut.
Dalam kehidupan
modern sekarang ini banyak sekali ada usaha perusakan laut seperti pembuangan
limbah industri kelaut. Ternyata sudah sejak dari dulu Hindu memperhatikan laut
dan menerapkan sebuah ajaran untuk menjaga kelestarian laut agar tetap dapat
memberikan kesejahteraan untuk umat manusia.
c. Wana Kertih
Adalah upaya untuk
melestarikan hutan. Dalam Pancawati diajarkan tentang tiga fungsi hutan hingga
dapat membangun hutan yang lestari yang disebut Wana Astri yang dibagi menjadi
maha wana, tapa wana dan sri wana
Maha wana adalah hutan belantara sebagai sumber kehidupan manusia dan pelindung
berbagai sumber hayati didalamnya. Maha wana juga sebagai waduk alami yang akan
menyimpan dan mengalirkan air sepanjang tahun. Air dalam ajaran Hindu seperti
dinyatakan dalam Bhagawad Gita III. 14 bahwa makanan berasal dari air atau
hujan. Munculnya hujan dari yadnya dan yadnya itu adalah karma.Dari ajaran
Bhagawad Gita itu dapat kita ambil maknanya marilah kita berkarma nyata untuk
memelihara hutan yang kita miliki ini.Karena tanpa hutan yang lestari kita akan
mengamali krisis air ini sama dengan krisis kehidupan. Ini mengajarkan kita
agar kita mengetahui fungsi penting dari hutan dan berusaha untuk menjaganya.
Tapa wana merupakan fungsi hutan sebagai sarana
dalam spiritual yang menggemakan ajaran spiritual dimana di hutan para pertapa
mendirikan asram dan memanjat doa serta mengajarkan ajaran-ajaran suci ke dalam
setiap hati umat manusia. Disini tersirat ajaran bahwa manusia harus menjaga
tingkat kesucian dari hutan hingga orang tidak dengan seenaknya menebang pohon
yang terdapat di hutan.
Sri wana adalah hutan sebagai sarana ekonomi masyarakat karena dari
hutanlah sebagian hasil bumi dapat dihasilkan, dengan merusak hutan berarti
merusak salah satu penunjang ekonomi masyarakat.
Ketiga konsep ini
sama dengan pola pikir modern dimana orang modern juga memiliki pemikiran bahwa
hutan merupakan paru-paru dunia yang menjaga keseimbangan alam dan tempat
menyimpan air yang mnjadi sumber air tanah, hutan juga dapat menjadi tempat
rekreasi untuk menenangkan diri setelah jenuh menjalani rutinitas yang hanya
menghasilkan stress dan ketegangan jiwa dan hutan pula yang menjadi tempat
penghasil komoditi yang bisa meningkatkan tarap ekonomi masyarakat. Hindu
memiliki memiliki konsep yang luar biasa tentang hutan.
d. Danu Kertih
Ini merupakan
sebuah konsep tentang bagaimana menjaga kelestarian sumber air tawar yang ada
di daratan baik yang berupa mata air danau, sungai dan lain-lain. Dalam
Manawa Dharmasastra IV.52 dan 56 ada dinyatakan bahwa tidak boleh mengotori
sungai Sloka tersebut adalah sbb:
Pratyagnim pratisuryam ca
pratisomodaka dvijan
pratigam prativatam
ca prajna nasyati mehatah.
(Manawa Dharmasastra .IV.52)
Artinya:
Kecerdasan orang
akan sirna bila kencing menghadapi api, mata hari, bulan, kencing dalam air
sungai (air yang mengalir),menghadapi Brahmana, sapi, atau arah angin.
Napsu mutram purisam va
sthivanam va samutsrjet,
amedhya liptam any
a dva lohitam vavisani
va.
(Manawa Dharmasastra .IV.56)
Artinya:
Hendaknya ia jangan
melempar air kencingnya atau kotorannya ke dalam air sungai,tidak pula air
ludahnya, juga tidak boleh melemparkan perkataan yang tidak suci, tidak pula
kotoran-kotoran, tidak pula yang lain, tidak pula darah atau suatu yang
berbisa.
Dua sloka Manawa
Dharmasasta telah cukup untuk acuan hukum bahwa agama Hindu yang sangat
melarang prilaku merusak air apa lagi sumber-sumbernya. Sayang ajaran yang
begitu jelas tidak disertai oleh tingginya pemahaman dan pengetahuan umat
tentang adanya sloka yang mengatur prilaku manusia terhadap sumber air.
e. Jagat Kertih
Adalah usaha untuk
melestarikan bumi dalam hal ini tanah yang menjadi sumber kehidupan hingga
tanah menjadi produktif dan menghasilkan suatu yang berguna untuk manusia dari
sini terjadi suatu hubungan timbale balik antara bumi dan manusia sehingga
manusia tidak lagi hanya menjadi benalu seperti yang dominan terjadi pada saat
ini. Saat ini bumi benar telah dirusak oleh manusia, banyak masalah yang
terjadi dari ulah manusia itu sendiri. Konsep Cakra Yajna sangat diperlukan
dalam kondisi yang seperti ini karena dengan adanya konsep ini akan
terjadi suatu suasana yang dapat menumbuhkan suasana harmanonis dimana
semua manusia, ciptaan dan alam.
f. Jana Kertih
Jana kertih lebih
pada individu dalam membangun sebuah lingkungan spiritual hingga tercipta
suasana religius di sekitar individu tersebut ini sangat berguna dalam membina
hubungan sosial hingga tercipta suatu hubungan yang harmonis antar individu,
hubungan ini tidak lagi memandaang perbedaan sebagai hambatan suatu kedekatan,
karena pada dasarnya semua manusia itu bersaudara.
a.
Terjadinya Alam Semeta.
Alam ini dipandang oleh Hinduisme
sebagai diciptakan oleh dewa Brahma berkali-kali, setelah berkali-kali
mengalami kehancuran akibat kekuatan penghancur dari Siwa Mahakala. Dalam
tiap-tiap penciptaan terdapat zaman-zaman yang mengandung 4 tingkatan
(periode), yaitu:
1. Kreta Yoga, adalah zaman terdapatnya
kebahagiaan abadi.
2. Dvapara Yoga, adalah zaman mulai
timbulnya dosa/noda-noda.
3. Treta Yoga, adalah zaman yang penuh
sengsara dan merajalelanya dosa-dosa.
4. Kali Yoga, adalah zaman yang penuh
dengan kejahatan yang banyak menimpa umat manusia.
Akhirnya sebagai periode penutup,
maka timbullah masa Pralaya yaitu kehancuran total dari pada alam. Tetapi
sesudah itu dewa Brahma menciptakan lagi dunia baru yang dimulai pada Malam
Brahma yang digambarkan sebagai malam gelap gulita.[1][8]
Menurut pendapat Harun Hadiwijino
dalam bukunya, dijelaskan bahwa penciptaan alam semesta (bhuwana agung) terjadi
dengan bertapa. Kemudian sang Hyang Widi memancarkan kemahakuasaannya,
artinya: tenaga pikiran yang mengeram di dalam sang Hyang Widi dipusatkan
sedemikian rupa hingga menimbulkan panas yang memancar. Pancaran panas ini
menyebabkan adanya Brahmanda (telur Brahma atau telur sang Hyang
Widi). Yang di sebut telur Brahma adalah planet-planet yang bentuknya bulat
seperti telur. Proses menuju telur Brahma adalah sebagai berikut: Karena
bertapa tadi terjadilah dua kekuatan asal (potensi asal) yang disebut Purusa
(kekuatan kejiwaan) dan Prakrti (kekuatan kebendaan). Kedua kekuatan ini
bertemu. Pertemuan ini menimbulkan yang disebut cita (alam pikiran) yang sudah
dikuasai oleh tiga kualitas atau triguna, yaitu sattwa, rajas,
dan tamah.
Sesudah itu timbullah buddhi (naluri
pengenal), kemudian manah (akal dan perasaan), lalu ahangkara (rasa
keakuan), dan dasendrya (sepuluh indra), yang terdiri dari pancendrya (rangsang
pendengaran, perasa, pelihat, pengecap, dan pencium) dan karmendrya (penggerak
mulut, tangan, kaki, pelepasan, dan kemaluan). Setelah indra-indra ini
timbullah yang disebut pancatanmatra atau lima benih zat alam (yaitu
benih suara, rasa sentuhan, penglihatan, rasa, dan penciuman). Akhirnya
unsur-unsur benda materi yang disebut pancamahabhuta (anasir kasar),
yaitu ether, gas (atau hawa), sinar cahaya (apil zat cair (air), dan zat padat
(bumi). Bentuk kelima anasir bendani ini adalah atom. Karena pengolahan diri
maka dari kelima mahabhuta (anasir kasar) itu terjadilah brahmanda-brahmanda
(telur Brahma), yaitu matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planet,
termasuk bumi kita ini.
Seluruh alam semesta ini tersusun
dari tujuh lapisan, yang makin tinggi makin halus, sesuai dengan susunan anasir
yang menguasainya, yaitu: Bhurloka, Bhuahloka, Swahloka, Mahaloka, Janaloka,
Tapoloka, dan Salvaloka. Bhurloka atau Manusialoka adalah bumi
tempat kita hidup, terdiri dari campuran kelima anasir kasar tersebut dengan
zat padat dan zat cair sebagai bagian yang terbanyak. Bhuahloka adalah
alam roh, disebut juga Pitraloka, dengan zat cair dan zat sinar cahaya sebagai
bagian yang terpokok. Swahloka, disebut juga Dewaloka atau Sorga,
karena dihuni oleh para dewayang bersinar. Alam ini terdiri dari sinar dan
hawa sebagai bagian yang terpokok. Demikianlah terjadinya bhuwana agung atau
makrokosmos.[2][9]
Dalam buku yang lain dijelaskan
bahwa menurut ajaran Hindu, dalam rangka ciptaan (srsti) alam semesta, sang
Hyang Widi dengan ke-Maha-Kuasaan-Nya dunia diciptakan secara perlahan-lahan
(dengan proses evolusi). Pada hakekatnya, dari sang Hyang Widhi dan kembali
kepadaNya pada waktu kiamat (pralaya) sebagai halnya dari badannya sendiri,
kemudian pada akhirnya menarik kembali kedalam dirinya pada waktu pralaya.
Tegasnya Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi menciptakan alam semesta ini
daripada diriNya sendiri, tetapi karena ke-Maha-Kuasaan-Nya, dirinya itu tetap
sempurna. Dalam kitab Upanisada ada diletakkan:
Dari yang sempurna lahirlah yang
sempurna, walaupun yang sempurna (Sang Hyang Widhi) diambil oleh yang sempurna
(alam semesta) tetapi sisanya (Sang Hyang Widhi) tetap sempurna adanya”.
Kapan dunia ini diciptakan? Baik
penciptaan (srsti) maupun kiamatnya (pralaya) dunia merupakan perputaran
lingkaran sehingga tidak dapat diketahui awal dan akhirnya, karena umur manusia
demikian pendeknya serta ingatan manusia demikian terbatas. Tetapi yang adalah
bahwa dalam kehidupan ini adalah setiap saat ada penciptaan (srsti), setiat
saat ada pralina (pralaya) sehingga sebenarnya ini kehidupan amuba/sel-sel
sampai kehidupan yang tertinggi terus mengalami “srsti-pralaya” terus menerus.
Dunia diciptakan dengan lima unsur Pancatanmatra, yakni: 1) zat ether (akasa),
2) zat cahaya (teja), 3) zat hawa (bayu), 4) zat cair (apah), dan 5) zat padat
(prthiwi) yang terdapat dalam sang Hyang Widhi, atau “parama-anuNya”. ‘Parama’
artinya yang sangat, dan ‘anu’ artinya atom. Parama anu ialah unsur-unsur yang
lebih kecil dari atom. Menurut agama Hindu tidak dapat diketahui kapan alam
semesta ini diciptakan, tetapi yang jelas adalah: Sang Hyang Widhi secara
kontiniu menagadakan ciptaan sebagai tersebut dalam kitab suci Bhagavadgita,
Bab III, sloka 24:[3][10]
“jika aku berhenti bekerja, dunia
ini akan hancur-lebur. Dan aku jadi pencipta keruntuhan memusnahkan semua
mahluk/manusia ini semua”
Menurut pandangan agama Hindu
terhadap alam semesta serta mahluk/manusia ciptaan Maha pencipta Sang Hyang
Widhi ini, perlu di sadari bahwa sebelum Hyang Widhi mencipta, sebenarnya tiada
terdapat suatu apapun di alam semesta ini. Pustaka Upanisada (Brihad-aranyaka
dan Chandogya-Upanisada) mengatakan: “idamwa egra naiwa kincid asit, sad ewa
saumnya idam agra asit Ekam Ewa Adwitya.” Artinya “sebelum sebelum diciptakan
alam ini tidak ada apa-apa. Sebelum alam diciptakan hanya Hyang Widhi yang ada.
Maha Esa dan tidak ada duanya”. Ciptaan Hyang Widhi adalah merupakan pancaran
ke-Maha-Kuasaan-Nya (Wibhuti) Hyang Widhi Wasa sendiri. Wibhuti ini terpancar
melalui TAPA. Tapa adalah pemusatan tenaga fikiran yang terkeram hingga
menimbulkan panas yang memancar. Dalam pustaka Taittrriya-Upanisadha ada
disebutkan “Hyang Widhi Wasa melakukan Tapa. Setelah melakukan Tapa,
terciptalah semuanya, yaitu segala apa yang ada di alam ini. Setelah
menciptakan, kedalam ciptaanNya itu Hyang Widhi menjadi satu”. Kekuatan
Tapa-Nya menyebabkan terwujudnya dunia ini. Bentuk dunia ini bulat seperti
telur, maka alam semesta ini dalam kitab PURUNA disebut “BRAHMA-ANDA” (telur
Hyang Widhi).
Demikian pula bahwa disebabkan Tapa
Hyang Widhi maka terjadilah dua kekuatan asal, yakni Kekuatan Kejiwaan (Purusa)
dan Kekuatan Kebendaan (Prakrti/Pradhana). Lantaran kedua kekuatan tersebut
bertemu, maka terciptalah alam semesta ini. Perlu diketahui, bahwa terjadinya ciptaan
ini bukan proses ciptaan sekaligus, melainkan tahap demi tahap atau secara
proses evolusi, dari yang halus menjadi yang kasar. Mula pertama timbullah alam
fikiran (Cita/citta) yang sudah mulai dipengaruhi oleh TRIGUNA yang terdiri
atas SATWA, RAJAH dan TAMAH. Kemudian timbul naluri pengenal (BUDHI).
Selanjutnya timbul akal dan perasaan (MANAH). Lalu timbul rasa keakuan
(AHANGKARA). Setelah ini timbul sepuluh sumber Indria (DASA INDRIA) yang
terbagi dua pula, yakni Panca-Budhi Indria dan Panca Karma Indria.
Panca Budhi Indria terdiri atas:
1). Rangsang pendengar (Srota
Indria)
2). Rangsang perasa (Twak Indria)
3). Rangsang pelihat (Caksu Indria)
4). Rangsang pencium/pengecap (Jihwa
indria)
5). Rangsang pencium (Ghrana Indria)
Panca Karma Indria terdiri atas:
1). Penggerak mulut (Wak Indria)
2). Penggerak tangan (Pani Indria)
3). Penggerak kaki (Pada Indria)
4). Penggerak pelepasan (Payu
Indria)
5). Penggerak kemaluan (Upastha
Indria)
Selanjutnya dari Indria-indria
tersebut timbullah lima benih dari zat alam (Panca Tanmatra) yang terdiri atas:
1). Benih suara (Sabda Tanmatra)
2). Benih rasa sentuhan (Sparsa
Tanmatra)
3). Benih penglihatan (Rupa
Tanmatra)
4). Benih rasa (Rasa Tanmatra)
5). Benih penciuman (Gandha
Tanmatra)
Dari Panca Tanmatra yang hanya merupakan
benih zat alam terjadilah unsur-unsur benda materi yang nyata (Maha Bhuta) yang
dinamai Panca Maha Bhuta (lima unsur zat alam).
Panca Maha Bhuta terdiri atas:
1). Ether (akasa)
2). Gas/api (Bayu)
3). Sinar cahaya (Teja)
4). Zat cair (Apah)
5). Zat padat (Prhtiwi)
Kelima unsur zat alam tersebut
berbentuk PARAMA ANU (atom-atom). Panca Maha Bhuta inilah yang mengolah diri
secara evolusi, sehingga terjadilah alam semesta ini yang terdiri pula dari
Brahmanda-brahmanda seperti matahari, bulan, bintang-bintang dan planet-planet
termasuk bumi kita ini. Semuanya itu terdiri atas tujuh lapisan dunia, yakni:
1). Bhur-loka (Manussa-loka)
2). Bhuwah-loka (Pitra-loka)
3). Swah-loka (Swarga/Dewa-loka)
4). Maha-loka
5). Jana-loka
6). Tapa-loka
7). Satya-loka
Adapun perbedaan satu dunia (loka)
dengan lainnya ditentukan oleh unsur mana dari Panca Maha Bhuta yang terbanyak
menguasainya. Umpamanya Bhur-loka, Bhuwah-loka dan Swah-loka juga dikenal
dengan nama TRILOKA (tiga dunia). Bhur-loka yakni tempat kita hidup ini terjadi
dari campuran kelima unsur zat alam, tapi komposisi unsur terbanyak adalah zat
padat (prthiwi) dan zat cair (Apah), juga disebut Manussa-Loka. Bhuwah-loka
juga dinamai Pitra-loka atau dunia roh banyak dikuasai oleh unsur zat cair
(Apah) dan zat sinar (Teja). Swah-loka disebut juga Dewa-loka atau sorga
(Swarga) dikuasai oleh unsur sinar (Teja) dan zat hawa (Bayu). Para dewa di
alam dunia (loka) tersebut senantiasa bersinar/bercahaya berkat pengaruh unsur
sinar (Teja). Dewa berarti sinar cahaya.[4][11]
b.
Terjadinya Manusia (Bhuwana Alit)
Mengenai
terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari pancamahabhuta, yaitu sari ether,
hawa, api, air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa
manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur
dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya,
pancatanmatra, dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih
kehidupan, yaitu mani wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla).
Kedua unsur benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya
dengan pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu
maka sama halnya dengan alam semesta, manusia juga juga terdiri dari
unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia,
dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau
anasir-anasir kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh manusia.[5][12]
Cita, Bhudi dan Ahangkara membentuk
watak budi seseorang . dasendria membentuk indrianya. Pancatanmatra dan
pancamahabhuta membentuk badan manusia/mahluk. Jika pancamahabhuta di alam
besar (Macrocosmos) antara lain membentu Triloka, yakni: 1). Bhur-loka/alam
dunia bumi, 2). Bhuwah-loka/alam dunia angkasa udara dan 3). Swah-loka/ alam
sorga, maka di alam kecil (microcosmos) atau tubuh manusia/mahluk
terbentuklah tiga lapis badan (Trisarira), yakni: 1) Badan kasar (Sthula
Sarira), 2) Badan Halus (Sukma-Sarira), dan 3) Badan penyebab (Karana Sarira).
Kedua alam tersebut yakni alam-semesta (Bhuwana agung/Macrocosmos) dan alam
badan mahluk (Bhuwana Alit/Microcosmos) mempunyai sifat-sifat keadaan yang
bersamaan.
1. Segala yang kental, padat dan keras
pada alam maupun badan mahluk disebabkan oleh zat padat (Prthiwi).
2. Segala sesuatu yang besifat cair di
alam dunia maupun di alam mahluk disebabkan oleh unsur zat cair (Apah).
3. Segala sesuatu yang bercahaya panas,
baik di Bhuwana Agung maupun di Bhuwana Alit disebabkan oleh unsur cahaya
panas/api (Teja).
4. Yang bersifat angin, hawa dan gas
pada alam dunia serta nafas pada badan mahluk/manusia disebabkan oleh unsur gas
(Bayu).
5. Adapun unsur kekosongan/kehampaan
(Vacuum) yang ada pada alam dunia dan badan mahluk/manusia disebabakan oleh
unsur ether (Akasa).
Menurut ajaran agama Hindu, manusia
pertama disebut dengan nama: MANU, atau selengkapnya SWAYABHU-MANU, tetapi ini
bukan nama perseorangan. Sebab dalam bahasa sansekerta, Swayambhu berarti: yang
menjadikan diri sendiri. Suku kata “swayam” berarti diri sendiri, dan suku kata
“bhu” berarti: menjadi, dan kata “manu” berarti “mahluk berfikir yang
menjadikan dirinya sendiri”, yakni MANUSIA PERTAMA. Istilah manu sekarang
menjadi kata manusia. Menurut ajaran Hinduisme, semua manusia adalah keturunan
Manu.[6][13]
Jika di alam
semesta atau makrokosmos pancamahabhuta atau anasir kasar membentuk triloka
(Bhur-loka, Bhuwah-loka, dan Swah-loka) maka di dalam manusia sebagai
mikrokosmos pancamahabhuta membentuk trisarira yaitu tubuh kasar,
tubuh halus, dan tubuh penyebab. Itulah sebabnya kedua alam (makro dan mikrokosmos) memiliki
sifat-sifat yang sama. Kecuali ketiga macam tubuh dalam manusia masih terdapat Atman,
yaitu percikan kecil atau sinar Parama Atman, sinar sang Hyang Widi.
Atman pada manusia disebut Jiwatman, yaitu yang menghidupkan manusia.
Fungsi Atman di dalam badan manusia saperti kusir terhadap kereta.
Sebagai sinar ilahi atau percikan sang Hyang Widi, Atman memiliki sifat-sifat
sang Hyang Widi, sebagai misalnya: tak terlukai oleh senjata, tak terbakar oleh
api, tak terkeringkan oleh angin, tak terbasahkan oleh air, abadi, ada di
mana-mana, tak dilahirkan, tak dipikirkan, dsb.
Sekalipun demikian manusia
tidaklah sempurna, fana, dapat mati. Hal ini disebabkan karena Atman
dipenjarakan di dalam tubuh, yang mengakibatkan manusia dikuasai oleh awidya.
Akibat awidya lebih lanjut ialah manusia dikuasai oleh hukum karma dan samsara,
kelahiran kembali (purnabhawa). Hukum karma tadi dapat menyebabkan
orang dilahirkan kembali sebagai manusia, tetapi juga sebagai binatang,
tumbuh-tumbuhan. Jika orang dilahirkan kembali sebagai manusia, hal itu adalah
suatu keuntungan yang besar, sebab kelahiran kembali sebagai manusia memberi
kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaan hidup, guna mengatasi kesengsaraan.
Itulah sebabnya dewa-dewa pun perlu dilahirkan kembali sebagai manusia dulu,
agar dapat mencapai kebebasan abadi (nirwana).[7][14]
Berbeda dengan
keyakinan di dalam agama islam, Kristen, yahudi, dan Zarathustra, yang
mengajarkan bahwa alam semesta itu diciptakan tuhan Yang Maha Esa dari
tidak ada menjadi ada melalui iradat dan kodratnya yang tidak terbatas, maka
agama Brahma mengajarkan bahwa alam semesta itu adalah pancaran dari Brahman. Upanishad pada bagian chandogya
mengungkapkan pada kejadian alam semesta sebagai berikut:
Pada permulaan hanya ADA sendirian,
Maha Esa, tanpa ada yang kedua. Dia, Yang Maha Esa itu,berpikir di dalam
dirinya: biarlah aku menjadi banyak, biarlah aku berkembang selanjutnya.
Kemudian dengan zat-nya iapun melentunkan alam semesta: setelah melentunkan
zat-nya ke alam semesta, ia masuk ke dalam setiap makhluknya itu. Adapun
seluruh makhluk memiliki zat-nya yang paling halus di dalam diri tiap makhluk.
Dia adalah Al-haqq, dia adalah diri. Dan begitulah, hai Svetaku, bahwa ITU
ADALAH ENGKAU.
Di dalam Upanishad pada bagian
chandogya itu dikisahkan seterusnya bahwa terhadap Svetaku yang belum
dapat memahamkan hal itu. Maka Rishi Uddalaka menyuruh Svetaku meletakan
kepingan garam ke dalam mangkok air. Pada keesokannya Rishi Uddalaku menyuruh Svetaku
memeriksa kepingan garam tersebut, dan hasilnya tidak ada. Kemudian Rhisi
Uddalaku menyuruh Svetaku untuk menyicipinya, dan stevaku merasakan asin pada
air tersebut. Maka Rhisi Uddalaku menjelaskan bahwa demikianlah zat Brahma
merasuk ke dalam tubuh yang ada, dan itulah disebut atman.
Seorang manusia memanggilkan dirinya
“aku” , sewaktu kakinya dipotong , dia masih berteriak “aku”, setelah kedua
lengannya terpotong dia masih berteriak “aku”, dan setelah badannya dicincang
dia masi berteriak “aku”, hingga ketika ia menghembuskan nafas terakhir iapun
berbisik “aku”.
Lantas siapakah “aku” itu?
Menurut ajaran Brahman “aku” itu
adalah atman yang merupakan proyeksi dari zat Brahman.dalam ajaran ini tampak
kesamaan dengan ajaran neoplatonism. Aliran filsafat grik yang terakhir,
dibangun oleh Plotinus(205-270M) pada abad ke 3 masehi di Iskandaria. Ada yang
berpendapat bahwa Plotinus pernah mendalami filsafat India. Pokok ajaran
tentang mengenali dia dalam diri sendiri dan dia terdapat pada diri
seluruhnya dan dia adalah seluruhnya yang banyak dijumpai dalam Kitab
Veda terutama dalam Kitab Upanishad, melahirkan paham bahwa wujud tunggal
pencipta itu meresapi seluruh alam. Paham itu di dalam dunia filsafat
disebut dengan panteism. Paham tersebut juga pernah dianut oleh sufi-sufi islam
sejak abad ke 10 masehi, oleh Jalaludin Ar-rumi pada tahun(1207-1273). Adapun
paham itu juga berpengaruh dalam pihak tertentu dari mistik Kristen,
seperti St. Augustinus salah satu tokoh dalam agama Kristen yang
disebut sebagai santa atau wali allah pada tahun (396-430M).[8][15]
PENUTUP
Proses penciptaan alam samesta
berawal dari tidak ada apa-apa, yang ada hanya Tuhan Yang Maha Esa
(Paramasiwa/Nirguna Brahma/Tuhan Tidak berbentuk), sunyi, kosong, gelap, sepi
dan hampa. Kemudian Tuhan mewujudkan diriNya menjadi Sadasiwa/Saguna Brahma
(Tuhan berwujud) yang merupakan penunggalan dari Purusa (unsur dasar kejiwaan)
dan Pradana (unsur dasar kebendaan). Baik Purusa maupun Prakerti keduanya
adalah tanpa permulaan, sifatnya tidak dapat diamati.
Penyatuan keduanya (unsur dasar
kejiwaan dan unsur dasar kebendaan) melahirkan Tiga sifat yang disebut Triguna
yaitu:
1. Satwa: sifat dasarnya tenang, terang
dan menerangi.
2. Rajas: sifat dasarnya aktif dan
dinamis.
3. Tamas: sifat dasarnya berat dan
gelap, statis.
Maksud tiga ajaran di atas tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Hubungan manusia kepada Tuhan,
diwujudkan dalam berbagai bentuk pelaksanaan agama dan keagamaan,
sehingga menimbulkan kebahagiaan bhatin yang damai. Seperti Sembahyang,
upakara yadnya sebagai bentuk visualisasi bhakti yang tinggi.
2. Hubungan manusia dengan manusia,
yaitu dengan selalu menjunjung nilai persaudaraan sejati, toleransi dan hidup
rukun.
3. Hubungan manusia dengan alam, hal
ini mengharuskan manusia untuk bisa memahami makna mendekatkan diri dengan
alam, karena manusia tidak bisa hidup tanpa alam, yaitu makna relasi yang
saling menguntungkan dan saling menjaga satu sama lain.
Kemudian sebelum menciptakan
manusia, Tuhan Yang Maha Esa, menciptakan mulai dari yang paling halus menuju
yang paling kasar, yaitu menciptakan Dewa-dewa (malaikat), Gandharwa, Pisaca,
Raksasa, Yakosa dan sejenisnya, kemudian baru mahluk-mahkluk berbadan kasar
seperti manusia dan binatang. Manusia pertama disebut MANU, atau Swayambhu yang
artinya: Mahluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri. Dari kata Manu
sekarang ini berkembang menjadi kata manusya (MANUSIA) yang berarti: keturunan
manu.
Manusia adalah bagian dari Alam
samesta, demikian pula asal mula manusia dan alam samesta pada hakekatnya
adalah sama, yaitu berawal dari pertemuan Purusa dan Prakerti. Setelah
terciptanya Panca Mahabutha yaitu: unsur ruang, unsur Hawa/udara, unsur
Api/Panas, unsure Air/bersifat Cair, dan unsur padat/keras, maka sari-sari dari
panca mahabutha ini menjadi Sad Rasa yaitu: Enam Jenis Rasa: Manis, Pahit,
Asam, Asin, Pedas dan Sepat. Dalam proses penciptaan setelah munculnya Ahamkara
(unsure dasar rasa) maka muncullah Dasa Indriya yang dibagi menjadi dua yaitu:
Panca Budhi Indria dan Panca Karma Indria.
manu
Pertama Swayambu
Kedua Swarocisa
Ketiga Utama Keempat Tamasa
Kelima Raiwata Keenam Caksusa
Ketujuh Waiwaswata
Kedelapan Sawarni Kesembilan Daksasawarni
Kesepuluh Brahmasawarni
Kesebelas Darmasawarni
Kedua belas Rudrasawarni
Ketiga belas Rocya atau Dewasarni Keempat
belas Botya atau Indrasawarni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar