Kamis, 21 Mei 2015

AJARAN HINDU DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM

Tema 4

AJARAN HINDU DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM

1. Penciptaan Manusia

Dari segi arti katanya, manusia berasal dari kata manushya, artinya "Makhluk yang memiliki pikiran." Manusia memiliki kesempurnaan peralatan untuk mengatur dirinya menemui penciptanya, yaitu Tuhan. Manusia menurut ajaran agama Hindu terdiri dari tubuh dan jiwa atau roh. Tubuh merupakan wujud yang kelihatan dan yang bersifat fana. Ada saatnya nanti tubuh ini mengalami kebinasaan. Sedangkan jiwa atau roh itu bersifat kekal. Hal ini dapat dilihat dari petikan kitab Bhagawad Gitta II.16 dan Bhagawad Gitta II. 20 di bawah ini:

"Apa yang tak akan pernah ada; apa yang ada tak akan pernah ada; apa yang ada tak akan pernah berhenti ada; keduanya hanya dapat dimengerti oleh orang yang melihat kebenaran. Yang tak pernah lahir dan mati; juga setelah ada tak akan berhenti ada, tidak dilahirkan, kekal, abadi, selamanya, tidak mati dikala tubuh jasmani mati."

Dalam zaman Brahmana diuraikan bahwa manusia terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang tampak dan tak nampak. Bagian yang tampak disebut rupa, yang tersusun dari lima unsur, yaitu: rambut, kulit, daging, tulang, dan sum-sum. Bagian yang tidak nampak disebut nama, terdiri dari unsur-unsur yang menentukan hidup. yaitu: nafas (prana atau atman), akal (budhi), pemikiran (manas), penglihatan (caksu), dan pendengaran (strotra). Manusia memiliki lima alat pengindraan (Buddhendriya), yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Juga memiliki lima alat bertindak (karmendriya), yaitu: tangan, alat melahirkan (upastha), alat mengeluarkan (payu), kaki, lidah.

Manusia tediri dari lima skandha (skandha artinya tonggak). Kelima skandha tersebut ialah rupa, wedana, sanna, sankhara, dan winnana. Rupa adalah kerangka anatomis atau alat badani kita, yaitu baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Sanna ialah pengamatan dari segala macam, baik yang rohani maupun yang jasmani, yang dengan perantara indra masuk ke dalam kesadaran. Sankhara adalah suatu skandha yang sangat kompleks, yang di dalamnya mengandung kehendak, keinginan dan sebagainya yang menjadikan skandha ini dapat menyusun gambar atau khayalan dari apa yang diamati. Winnana adalah kesadaran. Yang disebut jiwa sebenarnya adalah kelima skandha ini bersama-sama atau satu persatu. 

Dalam diri manusia terdapat atman. Atman tersebut diselubungi oleh beberapa selubung, yaitu dari luar ke dalam: Selubung yang terdiri dari makanan atau tubuh sebagai selubung jasmani (Annamaya atman); Selubung yang di bawah selubung jasmani, yaitu selubung yang di tempati nafas hidup atau prana, yaitu selubung nafas ni (Pranamaya atman); Selubung yang lebih mendalam lagi, yaitu selubung akali (Manomaya atman); lalu terdapat selubung yang terdiri dari kesadaran (Wijnanamaya atman); dan bagian terdalam terdapat atman dalam keadaan bahagia (Anandamaya atman) yaitu inti sari manusia.


Manusia  terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh manusia. Menurut ajaran agama Hindu, manusia pertama disebut dengan nama: MANU, atau selengkapnya SWAYABHU-MANU, tetapi ini bukan nama perseorangan. Sebab dalam bahasa sansekerta, Swayambhu berarti: yang menjadikan diri sendiri. Suku kata “swayam” berarti diri sendiri, dan suku kata “bhu” berarti: menjadi, dan kata “manu” berarti “mahluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri”, yakni MANUSIA PERTAMA. Istilah manu sekarang menjadi kata manusia. Menurut ajaran Hinduisme, semua manusia adalah keturunan Manu.
Dalam agama Hindu, Manu adalah pemimpin setiap Manwantara, yaitu suatu kurun zaman dalam satu kalpa. Ada empat belas Manwantara, sehingga ada empat belas Manu. Zaman sekarang adalah Manwantara ketujuh dan diperintah oleh Manu ketujuh yang bergelar Waiwaswata Manu.
Manu yang pertama adalah Swayambu Manu, yang dianggap sebagai kakek moyang manusia. Swayambu Manu menikah dengan Satarupa dan memiliki keturunan. Anak cucu dari Manu disebut Manawa (secara harfiah berarti keturunan Manu), merujuk kepada manusia zaman sekarang. Menurut agama Hindu, Swayambu Manu dan Satarupa merupakan pria dan wanita pertama di dunia, sama seperti Adam dan Hawa dalam agama Yahudi, Kristen dan Islam.
Waiwaswata Manu, atau Manu yang sekarang, dikatakan merupakan putra dari Surya (Wiwaswan), yaitu dewa matahari menurut mitologi Hindu. Waiwaswata Manu terlahir pada zaman Satyayuga dan mendirikan kerajaan bernama Kosala, dengan pusat pemerintahan di Ayodhya. Ia memiliki sepuluh anak: Wena, Dresnu (Dresta), Narisyan (Narisyanta), Nabaga, Ikswaku, Karusa, Saryati, Ila, Persadru (Persadra), dan Nabagarista. Dalam kitab Matsyapurana, ia muncul sebagai raja yang menyelamatkan umat manusia dari bencana air bah setelah mendapat pesan dari Wisnu yang berwujud ikan (Matsya Awatara).






2. Penciptaan Alam

Dalam agama Hindu, ajaran mengenai alam semesta tidak begitu jelas. Pengajaran mengenai alam semesta tercakup dalam Kitab Agama atau kitab-kitab tantra. Pokok pengajaran mengenai kitab-kitab ini membicarakan mengenai penciptaan alam semesta, penyembahan dewa-dewa, jalan mencapai kesaktian, dan persekutuan dengan zat yang tertinggi. Dunia ini keluar dari Brahman, melalui persekutuan antara purusa (jiwa atau inti pribadi perseorangan, yang tidak berubah dan tidak aktif) dan prakrti (bukan jiwa yang badani atau asas yang bersifat kebendaan, tetapi yang dalam keadaan yang semula mewujudkan suatu kesatuan yang tanpa pembedaan). Prakrti mengandung didalamnya triguna atau tiga tabiat, yaitu: sattwa (tabiat terang), rajas (tabiat penggerat), dan tamas (tabiat yang gelap, masa bodoh, malas, dsb). Karena hubungan praktri dengan purusa, nisbah (rasio) antara ketiga tabiat tadi berubah-ubah, yang menyebabkan berkembangnya dunia yang beraneka ragam ini. 

Penciptaan hanya suatu ragam saja dari penjelmaan ilahi. Dunia yang mengalir dari Brahman itu terdiri dari mahabrahmanda atau makrosmos dan bratbrahmanda atau mikrosmos. Mengenai penciptaan ini terdapat berbagai pandangan. Dalam kitab Bhagawad Gitta III.10 dijelaskan mengenai hal ini, sekalipun masih samar-samar:

"Dahulu kala Hyang Widhi menciptakan manusia dengan jalan yadhnya dan bersabda dengan ini engkau akan berkembang dan mendapatkan kebahagiaan atau khamaduk sesuai dengan keinginanmu."

(Sumber: Tony Tedjo, Mengenal agama Hindu, Buddha, Khong Hucu, (Pionir Jaya, Bandung: 2011)

3. Hubungan Manusia dan Alam

Hindu dalam hal ini Veda amat kaya akan konsep yang diulas secara sistimatis dan diakui bersama. Salah satunya adalah konsep Rta dan Yajna dimana ini merupakan perlambang adanya hubungan timbal balik antara manusia dengan alam dan berbagai ciptaan yang lain dimana semua memiliki arti penting yang sama dalam menjaga ekosistim, yang ketiganya saling membutuhkan satu sama lain, dan saling memberi dan menerima. Ini berbeda dengan kepercayaan lain yang menempatkan manusia sebagai superior dalam ciptaan atau penikmat dari segala yang diciptakan dimana konsep ini memiliki sisi lemah dimana manusia dapat menjadi arogan dan menempatkan alam dan ciptaan yang lain hanya sebagai sapi perahan, manusia hanya mengambil keuntungan dari alam dan ciptaan yang lain tanpa memperhatikan keberlangsungan dari alam tersebut, ini lah terjadi pada saat ini. Kini alam perlahan sudah tidak ramah lagi pada manusia, bencana demi bencana kini hadir, lalu apakah ini cobaan dari Tuhan? Menurut saya ini adalah dampak dari mulai tidak akrabnya manusia dengan alam, manusia berkembang dengan tidak memperdulikan alam.

Secara lebih rinci konsep-konsep dasar agama Hindu tentang hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidup dimulai dari konsep “Rta” dan “ Yadnya”.
Rta Sebagai bagian imanen (tak terpisahkan) dari alam. Manusia pada setiap tahap dalam kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam.
Yadnya merupakan hakikat hubungan antara manusia dengan alam yang terjadi dalam keadaan harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam dan unsureunsur yang dimiliki oleh manusia. Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus selalu dijaga, salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini
Salah satu konsep yajna yang disadari oleh ajaran rta itu adalah:

Konsep Sad Kertih
Alam semesta ini termasuk manusia menurut Veda terdiri dari unsur panca maha butha yang semua saling berkaitaan satu dengan yang lain. Agar terjadi sinergi yang baik maka berbagai kitab Hindu yang dirumuskan oleh lontar-lontar Purana di Bali oleh orang-orang suci Hindu di Bali. Bagian-bagian dari Sad Kertih.

a. Atman Kertih
Yaitu suatu upaya untuk melakukan pelestarian segala usaha untuk menyucikan Sang Hyang Atma dari belenggu Tri Guna.. Disamping itu juga dilakukan usaha untuk melindungi dan memelihara berbagai tempat yang dipakai dalam upacara penyucian Atman. Inti Atma Kertia adalah mengupayakan tetap tegaknya fungsi kawasan suci,tempat suci dan kegiatan suci sebagai media untuk membangun kesucian Atman. Pelestarian alam yang terdapat disekitar kita yang nantinya bermanfaat untuk kemajuan spiritual.

b. Samudra Kertih
Yaitu upaya untuk menjaga kelestarian samudra sebagai sumber alam yang memiliki fungsi yang sangat komplek dalam kehidupan umat manusia. Dilautlah diadakan Upacara Nanggluk Merana.Upacara Melasti, Nganyut Abu Jenazah,Nganyut Sekah,Upacara Mapekelem di laut dan lain-lain. Semua Upacara tersebut bermakna untuk memotivasi umat agar memelihara kelestarian laut.
Dalam kehidupan modern sekarang ini banyak sekali ada usaha perusakan laut seperti pembuangan limbah industri kelaut. Ternyata sudah sejak dari dulu Hindu memperhatikan laut dan menerapkan sebuah ajaran untuk menjaga kelestarian laut agar tetap dapat memberikan kesejahteraan untuk umat manusia.

c. Wana Kertih
Adalah upaya untuk melestarikan hutan. Dalam Pancawati diajarkan tentang tiga fungsi hutan hingga dapat membangun hutan yang lestari yang disebut Wana Astri yang dibagi menjadi maha wana, tapa wana dan sri wana

 Maha wana adalah hutan belantara sebagai sumber kehidupan manusia dan pelindung berbagai sumber hayati didalamnya. Maha wana juga sebagai waduk alami yang akan menyimpan dan mengalirkan air sepanjang tahun. Air dalam ajaran Hindu seperti dinyatakan dalam Bhagawad Gita III. 14 bahwa makanan berasal dari air atau hujan. Munculnya hujan dari yadnya dan yadnya itu adalah karma.Dari ajaran Bhagawad Gita itu dapat kita ambil maknanya marilah kita berkarma nyata untuk memelihara hutan yang kita miliki ini.Karena tanpa hutan yang lestari kita akan mengamali krisis air ini sama dengan krisis kehidupan. Ini mengajarkan kita agar kita mengetahui fungsi penting dari hutan dan berusaha untuk menjaganya.

Tapa wana merupakan fungsi hutan sebagai sarana dalam spiritual yang menggemakan ajaran spiritual dimana di hutan para pertapa mendirikan asram dan memanjat doa serta mengajarkan ajaran-ajaran suci ke dalam setiap hati umat manusia. Disini tersirat ajaran bahwa manusia harus menjaga tingkat kesucian dari hutan hingga orang tidak dengan seenaknya menebang pohon yang terdapat di hutan.
 Sri wana adalah hutan sebagai sarana ekonomi masyarakat karena dari hutanlah sebagian hasil bumi dapat dihasilkan, dengan merusak hutan berarti merusak salah satu penunjang ekonomi masyarakat.  

Ketiga konsep ini sama dengan pola pikir modern dimana orang modern juga memiliki pemikiran bahwa hutan merupakan paru-paru dunia yang menjaga keseimbangan alam dan tempat menyimpan air yang mnjadi sumber air tanah, hutan juga dapat menjadi tempat rekreasi untuk menenangkan diri setelah jenuh menjalani rutinitas yang hanya menghasilkan stress dan ketegangan jiwa dan hutan pula yang menjadi tempat penghasil komoditi yang bisa meningkatkan tarap ekonomi masyarakat. Hindu memiliki memiliki konsep yang luar biasa tentang hutan.

d. Danu Kertih
Ini merupakan sebuah konsep tentang bagaimana menjaga kelestarian sumber air tawar yang ada di daratan baik yang berupa mata air danau, sungai dan lain-lain.  Dalam Manawa Dharmasastra IV.52 dan 56 ada dinyatakan bahwa tidak boleh mengotori sungai Sloka tersebut adalah sbb:

Pratyagnim pratisuryam ca
pratisomodaka dvijan
pratigam prativatam
ca prajna nasyati mehatah.
                                                 (Manawa Dharmasastra .IV.52)
Artinya:
Kecerdasan orang akan sirna bila kencing menghadapi api, mata hari, bulan, kencing dalam air sungai (air yang mengalir),menghadapi Brahmana, sapi, atau arah angin.


Napsu mutram purisam va
sthivanam va samutsrjet,
amedhya liptam any
 a  dva lohitam vavisani va.

                                                                        (Manawa Dharmasastra .IV.56)
Artinya:
Hendaknya ia jangan melempar air kencingnya atau kotorannya ke dalam air sungai,tidak pula air ludahnya, juga tidak boleh melemparkan perkataan yang tidak suci, tidak pula kotoran-kotoran, tidak pula yang lain, tidak pula darah atau suatu yang berbisa.

Dua sloka Manawa Dharmasasta  telah cukup untuk acuan hukum bahwa agama Hindu yang sangat melarang prilaku merusak air apa lagi sumber-sumbernya. Sayang ajaran yang begitu jelas tidak disertai oleh tingginya pemahaman dan pengetahuan umat tentang adanya sloka yang mengatur prilaku manusia terhadap sumber air.

e. Jagat Kertih
Adalah usaha untuk melestarikan bumi dalam hal ini tanah yang menjadi sumber kehidupan hingga tanah menjadi produktif dan menghasilkan suatu yang berguna untuk manusia dari sini terjadi suatu hubungan timbale balik antara bumi dan manusia sehingga manusia tidak lagi hanya menjadi benalu seperti yang dominan terjadi pada saat ini. Saat ini bumi benar telah dirusak oleh manusia, banyak masalah yang terjadi dari ulah manusia itu sendiri. Konsep Cakra Yajna sangat diperlukan dalam kondisi yang seperti ini karena dengan adanya konsep ini akan terjadi  suatu suasana yang dapat menumbuhkan suasana harmanonis dimana semua manusia, ciptaan dan alam.

f. Jana Kertih
Jana kertih lebih pada individu dalam membangun sebuah lingkungan spiritual hingga tercipta suasana religius di sekitar individu tersebut ini sangat berguna dalam membina hubungan sosial hingga tercipta suatu hubungan yang harmonis antar individu, hubungan ini tidak lagi memandaang perbedaan sebagai hambatan suatu kedekatan, karena pada dasarnya semua manusia itu bersaudara.



a.      Terjadinya Alam Semeta.
Alam ini dipandang oleh Hinduisme sebagai diciptakan oleh dewa Brahma berkali-kali, setelah berkali-kali mengalami kehancuran akibat kekuatan penghancur dari Siwa Mahakala. Dalam tiap-tiap penciptaan terdapat zaman-zaman yang mengandung 4 tingkatan (periode), yaitu:
1.     Kreta Yoga, adalah zaman terdapatnya kebahagiaan abadi.
2.     Dvapara Yoga, adalah zaman mulai timbulnya dosa/noda-noda.
3.     Treta Yoga, adalah zaman yang penuh sengsara dan merajalelanya dosa-dosa.
4.     Kali Yoga, adalah zaman yang penuh dengan kejahatan yang banyak menimpa umat manusia.
Akhirnya sebagai periode penutup, maka timbullah masa Pralaya yaitu kehancuran total dari pada alam. Tetapi sesudah itu dewa Brahma menciptakan lagi dunia baru yang dimulai pada Malam Brahma yang digambarkan sebagai malam gelap gulita.[1][8]
Menurut pendapat Harun Hadiwijino dalam bukunya, dijelaskan bahwa penciptaan alam semesta (bhuwana agung) terjadi dengan bertapa. Kemudian  sang Hyang Widi memancarkan kemahakuasaannya, artinya: tenaga pikiran yang mengeram di dalam sang Hyang Widi dipusatkan sedemikian rupa hingga menimbulkan panas yang memancar. Pancaran panas ini menyebabkan adanya Brahmanda (telur Brahma atau telur sang Hyang Widi). Yang di sebut telur Brahma adalah planet-planet yang bentuknya bulat seperti telur. Proses menuju telur Brahma adalah sebagai berikut:  Karena bertapa tadi terjadilah dua kekuatan asal (potensi asal) yang disebut Purusa (kekuatan kejiwaan) dan Prakrti (kekuatan kebendaan). Kedua kekuatan ini bertemu. Pertemuan ini menimbulkan yang disebut cita (alam pikiran) yang sudah dikuasai oleh tiga kualitas atau triguna, yaitu sattwa, rajas, dan tamah.
Sesudah itu timbullah buddhi (naluri pengenal), kemudian manah (akal dan perasaan), lalu ahangkara (rasa keakuan), dan dasendrya (sepuluh indra), yang terdiri dari pancendrya (rangsang pendengaran, perasa, pelihat, pengecap, dan pencium) dan karmendrya (penggerak mulut, tangan, kaki, pelepasan, dan kemaluan). Setelah indra-indra ini timbullah yang disebut pancatanmatra atau lima benih zat alam (yaitu benih suara, rasa sentuhan, penglihatan, rasa, dan penciuman). Akhirnya unsur-unsur benda materi yang disebut pancamahabhuta (anasir kasar), yaitu ether, gas (atau hawa), sinar cahaya (apil zat cair (air), dan zat padat (bumi). Bentuk kelima anasir bendani ini adalah atom. Karena pengolahan diri maka dari kelima mahabhuta (anasir kasar) itu terjadilah brahmanda-brahmanda (telur Brahma), yaitu matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planet, termasuk bumi kita ini.
Seluruh alam semesta ini tersusun dari tujuh lapisan, yang makin tinggi makin halus, sesuai dengan susunan anasir yang menguasainya, yaitu: Bhurloka, Bhuahloka, Swahloka, Mahaloka, Janaloka, Tapoloka, dan Salvaloka. Bhurloka atau Manusialoka adalah bumi tempat kita hidup, terdiri dari campuran kelima anasir kasar tersebut dengan zat padat dan zat cair sebagai bagian yang terbanyak. Bhuahloka adalah alam roh, disebut juga Pitraloka, dengan zat cair dan zat sinar cahaya sebagai bagian yang terpokok. Swahloka, disebut juga Dewaloka atau Sorga, karena dihuni oleh para dewayang bersinar. Alam ini terdiri dari sinar dan hawa sebagai bagian yang terpokok. Demikianlah terjadinya bhuwana agung atau makrokosmos.[2][9]
Dalam buku yang lain dijelaskan bahwa menurut ajaran Hindu, dalam rangka ciptaan (srsti) alam semesta, sang Hyang Widi dengan ke-Maha-Kuasaan-Nya dunia diciptakan secara perlahan-lahan (dengan proses evolusi). Pada hakekatnya, dari sang Hyang Widhi dan kembali kepadaNya pada waktu kiamat (pralaya) sebagai halnya dari badannya sendiri, kemudian pada akhirnya menarik kembali kedalam dirinya pada waktu pralaya. Tegasnya Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi menciptakan alam semesta ini daripada diriNya sendiri, tetapi karena ke-Maha-Kuasaan-Nya, dirinya itu tetap sempurna. Dalam kitab Upanisada ada diletakkan:
Dari yang sempurna lahirlah yang sempurna, walaupun yang sempurna (Sang Hyang Widhi) diambil oleh yang sempurna (alam semesta) tetapi sisanya (Sang Hyang Widhi) tetap sempurna adanya”.
Kapan dunia ini diciptakan? Baik penciptaan (srsti) maupun kiamatnya (pralaya) dunia merupakan perputaran lingkaran sehingga tidak dapat diketahui awal dan akhirnya, karena umur manusia demikian pendeknya serta ingatan manusia demikian terbatas. Tetapi yang adalah bahwa dalam kehidupan ini adalah setiap saat ada penciptaan (srsti), setiat saat ada pralina (pralaya) sehingga sebenarnya ini kehidupan amuba/sel-sel sampai kehidupan yang tertinggi terus mengalami “srsti-pralaya” terus menerus. Dunia diciptakan dengan lima unsur Pancatanmatra, yakni: 1) zat ether (akasa), 2) zat cahaya (teja), 3) zat hawa (bayu), 4) zat cair (apah), dan 5) zat padat (prthiwi) yang terdapat dalam sang Hyang Widhi, atau “parama-anuNya”. ‘Parama’ artinya yang sangat, dan ‘anu’ artinya atom. Parama anu ialah unsur-unsur yang lebih kecil dari atom. Menurut agama Hindu tidak dapat diketahui kapan alam semesta ini diciptakan, tetapi yang jelas adalah: Sang Hyang Widhi secara kontiniu menagadakan ciptaan sebagai tersebut dalam kitab suci Bhagavadgita, Bab III, sloka 24:[3][10]
“jika aku berhenti bekerja, dunia ini akan hancur-lebur. Dan aku jadi pencipta keruntuhan memusnahkan semua mahluk/manusia ini semua”
Menurut pandangan agama Hindu terhadap alam semesta serta mahluk/manusia ciptaan Maha pencipta Sang Hyang Widhi ini, perlu di sadari bahwa sebelum Hyang Widhi mencipta, sebenarnya tiada terdapat suatu apapun di alam semesta ini. Pustaka Upanisada (Brihad-aranyaka dan Chandogya-Upanisada) mengatakan: “idamwa egra naiwa kincid asit, sad ewa saumnya idam agra asit Ekam Ewa Adwitya.” Artinya “sebelum sebelum diciptakan alam ini tidak ada apa-apa. Sebelum alam diciptakan hanya Hyang Widhi yang ada. Maha Esa dan tidak ada duanya”. Ciptaan Hyang Widhi adalah merupakan pancaran ke-Maha-Kuasaan-Nya (Wibhuti) Hyang Widhi Wasa sendiri. Wibhuti ini terpancar melalui TAPA. Tapa adalah pemusatan tenaga fikiran yang terkeram hingga menimbulkan panas yang memancar. Dalam pustaka Taittrriya-Upanisadha ada disebutkan “Hyang Widhi Wasa melakukan Tapa. Setelah melakukan Tapa, terciptalah semuanya, yaitu segala apa yang ada di alam ini. Setelah menciptakan, kedalam ciptaanNya itu Hyang Widhi menjadi satu”. Kekuatan Tapa-Nya menyebabkan terwujudnya dunia ini. Bentuk dunia ini bulat seperti telur, maka alam semesta ini dalam kitab PURUNA disebut “BRAHMA-ANDA” (telur Hyang Widhi).
Demikian pula bahwa disebabkan Tapa Hyang Widhi maka terjadilah dua kekuatan asal, yakni Kekuatan Kejiwaan (Purusa) dan Kekuatan Kebendaan (Prakrti/Pradhana). Lantaran kedua kekuatan tersebut bertemu, maka terciptalah alam semesta ini. Perlu diketahui, bahwa terjadinya ciptaan ini bukan proses ciptaan sekaligus, melainkan tahap demi tahap atau secara proses evolusi, dari yang halus menjadi yang kasar. Mula pertama timbullah alam fikiran (Cita/citta) yang sudah mulai dipengaruhi oleh TRIGUNA yang terdiri atas SATWA, RAJAH dan TAMAH. Kemudian timbul naluri pengenal (BUDHI). Selanjutnya  timbul akal dan perasaan (MANAH). Lalu timbul rasa keakuan (AHANGKARA). Setelah ini timbul sepuluh sumber Indria (DASA INDRIA) yang terbagi dua pula, yakni Panca-Budhi Indria dan Panca Karma Indria.
Panca Budhi Indria terdiri atas:
1). Rangsang pendengar (Srota Indria)
2). Rangsang perasa (Twak Indria)
3). Rangsang pelihat (Caksu Indria)
4). Rangsang pencium/pengecap (Jihwa indria)
5). Rangsang pencium (Ghrana Indria)
Panca Karma Indria terdiri atas:
1). Penggerak mulut (Wak Indria)
2). Penggerak tangan (Pani Indria)
3). Penggerak kaki (Pada Indria)
4). Penggerak pelepasan (Payu Indria)
5). Penggerak kemaluan (Upastha Indria)
Selanjutnya dari Indria-indria tersebut timbullah lima benih dari zat alam (Panca Tanmatra) yang terdiri atas:
1). Benih suara (Sabda Tanmatra)
2). Benih rasa sentuhan (Sparsa Tanmatra)
3). Benih penglihatan (Rupa Tanmatra)
4). Benih rasa (Rasa Tanmatra)
5). Benih penciuman (Gandha Tanmatra)
Dari Panca Tanmatra yang hanya merupakan benih zat alam terjadilah unsur-unsur benda materi yang nyata (Maha Bhuta) yang dinamai Panca Maha Bhuta (lima unsur zat alam).
Panca Maha Bhuta terdiri atas:
1). Ether (akasa)
2). Gas/api (Bayu)
3). Sinar cahaya (Teja)
4). Zat cair (Apah)
5). Zat padat (Prhtiwi)
Kelima unsur zat alam tersebut berbentuk PARAMA ANU (atom-atom). Panca Maha Bhuta inilah yang mengolah diri secara evolusi, sehingga terjadilah alam semesta ini yang terdiri pula dari Brahmanda-brahmanda seperti matahari, bulan, bintang-bintang dan planet-planet termasuk bumi kita ini. Semuanya itu terdiri atas tujuh lapisan dunia, yakni:
1). Bhur-loka (Manussa-loka)
2). Bhuwah-loka (Pitra-loka)
3). Swah-loka (Swarga/Dewa-loka)
4). Maha-loka
5). Jana-loka
6). Tapa-loka
7). Satya-loka
Adapun perbedaan satu dunia (loka) dengan lainnya ditentukan oleh unsur mana dari Panca Maha Bhuta yang terbanyak menguasainya. Umpamanya Bhur-loka, Bhuwah-loka dan Swah-loka juga dikenal dengan nama TRILOKA (tiga dunia). Bhur-loka yakni tempat kita hidup ini terjadi dari campuran kelima unsur zat alam, tapi komposisi unsur terbanyak adalah zat padat (prthiwi) dan zat cair (Apah), juga disebut Manussa-Loka. Bhuwah-loka juga dinamai Pitra-loka atau dunia roh banyak dikuasai oleh unsur zat cair (Apah) dan zat sinar (Teja). Swah-loka disebut juga Dewa-loka atau sorga (Swarga) dikuasai oleh unsur sinar (Teja) dan zat hawa (Bayu). Para dewa di alam dunia (loka) tersebut senantiasa bersinar/bercahaya berkat pengaruh unsur sinar (Teja). Dewa berarti sinar cahaya.[4][11]
b.      Terjadinya Manusia (Bhuwana Alit)
Mengenai terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari pancamahabhuta, yaitu sari ether, hawa, api, air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra, dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan, yaitu mani wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla). Kedua unsur benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu maka sama halnya dengan alam semesta, manusia juga juga terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh manusia.[5][12]
Cita, Bhudi dan Ahangkara membentuk watak budi seseorang . dasendria membentuk indrianya. Pancatanmatra dan pancamahabhuta membentuk badan manusia/mahluk. Jika pancamahabhuta di alam besar (Macrocosmos) antara lain membentu Triloka, yakni: 1). Bhur-loka/alam dunia bumi, 2). Bhuwah-loka/alam dunia angkasa udara dan 3). Swah-loka/ alam sorga, maka di alam kecil (microcosmos) atau tubuh manusia/mahluk  terbentuklah tiga lapis badan (Trisarira), yakni: 1) Badan kasar (Sthula Sarira), 2) Badan Halus (Sukma-Sarira), dan 3) Badan penyebab (Karana Sarira). Kedua alam tersebut yakni alam-semesta (Bhuwana agung/Macrocosmos) dan alam badan mahluk (Bhuwana Alit/Microcosmos) mempunyai sifat-sifat keadaan yang bersamaan.
1.     Segala yang kental, padat dan keras pada alam maupun badan mahluk disebabkan oleh zat padat (Prthiwi).
2.     Segala sesuatu yang besifat cair di alam dunia maupun di alam mahluk disebabkan oleh unsur zat cair (Apah).
3.     Segala sesuatu yang bercahaya panas, baik di Bhuwana Agung maupun di Bhuwana Alit disebabkan oleh unsur cahaya panas/api (Teja).
4.     Yang bersifat angin, hawa dan gas pada alam dunia serta nafas pada badan mahluk/manusia disebabkan oleh unsur gas (Bayu).
5.     Adapun unsur kekosongan/kehampaan (Vacuum) yang ada pada alam dunia dan badan mahluk/manusia disebabakan oleh unsur ether (Akasa).
Menurut ajaran agama Hindu, manusia pertama disebut dengan nama: MANU, atau selengkapnya SWAYABHU-MANU, tetapi ini bukan nama perseorangan. Sebab dalam bahasa sansekerta, Swayambhu berarti: yang menjadikan diri sendiri. Suku kata “swayam” berarti diri sendiri, dan suku kata “bhu” berarti: menjadi, dan kata “manu” berarti “mahluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri”, yakni MANUSIA PERTAMA. Istilah manu sekarang menjadi kata manusia. Menurut ajaran Hinduisme, semua manusia adalah keturunan Manu.[6][13]
Jika di alam semesta atau makrokosmos pancamahabhuta atau anasir kasar membentuk triloka (Bhur-loka, Bhuwah-loka, dan Swah-loka) maka di dalam manusia sebagai mikrokosmos pancamahabhuta membentuk trisarira yaitu tubuh kasar, tubuh halus, dan tubuh penyebab. Itulah sebabnya kedua alam (makro dan mikrokosmos) memiliki sifat-sifat yang sama. Kecuali ketiga macam tubuh dalam manusia masih terdapat Atman, yaitu percikan kecil atau sinar Parama Atman, sinar sang Hyang Widi. Atman pada manusia disebut Jiwatman, yaitu yang menghidupkan manusia. Fungsi Atman di dalam badan manusia saperti kusir terhadap kereta. Sebagai sinar ilahi atau percikan sang Hyang Widi, Atman memiliki sifat-sifat sang Hyang Widi, sebagai misalnya: tak terlukai oleh senjata, tak terbakar oleh api, tak terkeringkan oleh angin, tak terbasahkan oleh air, abadi, ada di mana-mana, tak dilahirkan, tak dipikirkan, dsb.
Sekalipun demikian  manusia tidaklah sempurna, fana, dapat mati. Hal ini disebabkan karena Atman dipenjarakan di dalam tubuh, yang mengakibatkan manusia dikuasai oleh awidya. Akibat awidya lebih lanjut ialah manusia dikuasai oleh hukum karma dan samsara, kelahiran kembali (purnabhawa). Hukum karma tadi dapat menyebabkan orang dilahirkan kembali sebagai manusia, tetapi juga sebagai binatang, tumbuh-tumbuhan. Jika orang dilahirkan kembali sebagai manusia, hal itu adalah suatu keuntungan yang besar, sebab kelahiran kembali sebagai manusia memberi kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaan hidup, guna mengatasi kesengsaraan. Itulah sebabnya dewa-dewa pun perlu dilahirkan kembali sebagai manusia dulu, agar dapat mencapai kebebasan abadi (nirwana).[7][14]
Berbeda dengan keyakinan di dalam  agama islam, Kristen, yahudi, dan Zarathustra, yang mengajarkan bahwa alam semesta itu diciptakan tuhan Yang Maha Esa  dari tidak ada menjadi ada melalui iradat dan kodratnya yang tidak terbatas, maka agama Brahma mengajarkan bahwa alam semesta itu adalah pancaran dari Brahman. Upanishad pada bagian chandogya mengungkapkan pada kejadian alam semesta sebagai berikut:
Pada permulaan hanya ADA sendirian, Maha Esa, tanpa ada yang kedua. Dia, Yang Maha Esa itu,berpikir di dalam dirinya: biarlah aku menjadi banyak, biarlah aku berkembang selanjutnya. Kemudian dengan zat-nya iapun melentunkan alam semesta: setelah melentunkan zat-nya ke alam semesta, ia masuk ke dalam setiap makhluknya itu. Adapun seluruh makhluk memiliki zat-nya yang paling halus di dalam diri tiap makhluk. Dia adalah Al-haqq, dia adalah diri. Dan begitulah, hai Svetaku, bahwa ITU ADALAH ENGKAU.
Di dalam Upanishad pada bagian chandogya itu dikisahkan seterusnya bahwa terhadap Svetaku  yang belum dapat  memahamkan hal itu. Maka Rishi Uddalaka menyuruh Svetaku meletakan kepingan garam ke dalam mangkok air. Pada keesokannya Rishi Uddalaku menyuruh Svetaku memeriksa kepingan garam tersebut, dan hasilnya tidak ada. Kemudian Rhisi Uddalaku menyuruh Svetaku untuk menyicipinya, dan stevaku merasakan asin pada air tersebut. Maka Rhisi Uddalaku menjelaskan bahwa demikianlah zat Brahma merasuk ke dalam tubuh yang ada, dan itulah disebut atman.
Seorang manusia memanggilkan dirinya “aku” , sewaktu kakinya dipotong , dia masih berteriak “aku”, setelah kedua lengannya terpotong dia masih berteriak “aku”, dan setelah badannya dicincang dia masi berteriak “aku”, hingga ketika ia menghembuskan nafas terakhir iapun berbisik “aku”.
Lantas siapakah “aku” itu?
Menurut ajaran Brahman “aku” itu adalah atman yang merupakan proyeksi dari zat Brahman.dalam ajaran ini tampak kesamaan dengan ajaran neoplatonism. Aliran filsafat grik yang terakhir, dibangun oleh Plotinus(205-270M) pada abad ke 3 masehi di Iskandaria. Ada yang berpendapat bahwa Plotinus pernah mendalami filsafat India. Pokok ajaran tentang mengenali dia dalam diri sendiri  dan dia terdapat pada diri seluruhnya  dan dia adalah seluruhnya yang banyak dijumpai dalam Kitab Veda terutama dalam Kitab Upanishad, melahirkan paham bahwa wujud tunggal pencipta itu meresapi  seluruh alam. Paham itu di dalam dunia filsafat disebut dengan panteism. Paham tersebut juga pernah dianut oleh sufi-sufi islam sejak abad ke 10 masehi, oleh Jalaludin Ar-rumi pada tahun(1207-1273). Adapun paham itu juga berpengaruh dalam pihak tertentu dari mistik Kristen, seperti  St. Augustinus salah satu tokoh dalam agama Kristen yang disebut  sebagai santa atau wali allah pada tahun (396-430M).[8][15]

PENUTUP
Proses penciptaan alam samesta berawal dari tidak ada apa-apa, yang ada hanya Tuhan Yang Maha Esa (Paramasiwa/Nirguna Brahma/Tuhan Tidak berbentuk), sunyi, kosong, gelap, sepi dan hampa. Kemudian Tuhan mewujudkan diriNya menjadi Sadasiwa/Saguna Brahma (Tuhan berwujud) yang merupakan penunggalan dari Purusa (unsur dasar kejiwaan) dan Pradana (unsur dasar kebendaan). Baik Purusa maupun Prakerti keduanya adalah tanpa permulaan, sifatnya tidak dapat diamati.
Penyatuan keduanya (unsur dasar kejiwaan dan unsur dasar kebendaan) melahirkan Tiga sifat yang disebut Triguna yaitu:
1.     Satwa: sifat dasarnya tenang, terang dan menerangi.
2.     Rajas: sifat dasarnya aktif dan dinamis.
3.     Tamas: sifat dasarnya berat dan gelap, statis.
Maksud tiga ajaran di atas tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Hubungan manusia  kepada Tuhan, diwujudkan dalam berbagai  bentuk pelaksanaan agama dan keagamaan, sehingga menimbulkan kebahagiaan bhatin yang  damai. Seperti Sembahyang, upakara yadnya sebagai  bentuk visualisasi bhakti yang tinggi.
2.     Hubungan manusia dengan manusia, yaitu dengan selalu menjunjung nilai persaudaraan sejati, toleransi dan hidup rukun.
3.     Hubungan manusia dengan alam, hal ini mengharuskan manusia untuk bisa memahami makna mendekatkan diri dengan alam, karena manusia tidak bisa hidup tanpa alam, yaitu makna relasi yang saling menguntungkan dan saling menjaga satu sama lain.
Kemudian sebelum menciptakan manusia, Tuhan Yang Maha Esa, menciptakan mulai dari yang paling halus menuju yang paling kasar, yaitu menciptakan Dewa-dewa (malaikat), Gandharwa, Pisaca, Raksasa, Yakosa dan sejenisnya, kemudian baru mahluk-mahkluk berbadan kasar seperti manusia dan binatang. Manusia pertama disebut MANU, atau Swayambhu yang artinya: Mahluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri. Dari kata Manu sekarang ini berkembang menjadi kata manusya (MANUSIA) yang berarti: keturunan manu.
Manusia adalah bagian dari Alam samesta, demikian pula asal mula manusia dan alam samesta pada hakekatnya adalah sama, yaitu berawal dari pertemuan Purusa dan Prakerti. Setelah terciptanya Panca Mahabutha yaitu: unsur ruang, unsur Hawa/udara, unsur Api/Panas, unsure Air/bersifat Cair, dan unsur padat/keras, maka sari-sari dari panca mahabutha ini menjadi Sad Rasa yaitu: Enam Jenis Rasa: Manis, Pahit, Asam, Asin, Pedas dan Sepat. Dalam proses penciptaan setelah munculnya Ahamkara (unsure dasar rasa) maka muncullah Dasa Indriya yang dibagi menjadi dua yaitu: Panca Budhi Indria dan Panca Karma Indria.


manu Pertama Swayambu Kedua Swarocisa Ketiga Utama Keempat Tamasa Kelima Raiwata Keenam Caksusa Ketujuh Waiwaswata Kedelapan Sawarni Kesembilan Daksasawarni Kesepuluh Brahmasawarni Kesebelas Darmasawarni Kedua belas Rudrasawarni Ketiga belas Rocya atau Dewasarni Keempat belas Botya atau Indrasawarni












Tidak ada komentar:

Posting Komentar